Minggu, 15 Mei 2011

Sang Penjaga (3)


Tadi pagi, aku sudah membayangkan apa yang terjadi saat orang tua ku pulang, berpelukan, ayah  menanyakan apa aku udah punya pacar, banjir oleh-oleh,dan hal standar lainnya. Sama sekali tak terbayangkan bahwa sekarang aku akan duduk di depan mereka di ruang tamu, dahi bercucuran keringat, kepala tunduk, dan tangan terus dikepal di atas paha.


“Jadi…kau hamil, Nana?”
Setelah sekian lama menjelaskan  situasi akhirnya ibu berbicara.
“Iya tante”-Nana terus mengalihkan pandangannya.
“Dan menurutmu….sayang, ia lebih baik tinggal di sini”ibu menatap lurus mataku.
“Ya, setidaknya sampai anaknya lahir. Anaknya tak bersalah kan?”
Sebelum Ibu menjawab, Nana mencela “Lagipula, aku bersedia kerja jadi pembantu kalau  tante dan Paman mau menerima mah!”

Ibu  menggeleng kepala “Tidak, kau tidak harus kerja”
“dan, saya tidak keberatan kalau  kau ingin  tinggal di sini” ucap Ayah, akhirnya mengeluarkan suara.
“Tante juga, kami tahu kau sudah sering membantu Milla, wajar kalau kita membalas budi. Lagipula di Amerika yang MBA banyak kok jadi, anak Pak Chris juga kan pah!”
“Ah iya..tau ga Milla, Nana…”
Dan dalam sekejap, suasana serius melebur menjadi canda tawa. Seraya mendengar kisah ayah, Nana menoleh ke arahku, tanpa suara kulihat bibirnya bergerak seolah berbisik “Terimakasih”.

5 Bulan kemudian.

Aku berjalan menyusuri kampus, sekarang aku sudah  masuk kuliah, Sekolah khusus seni Rendervous, aku ambil jurusan desain fashion…itulah alasannya aku ke sekolah pakai heels 10 cm. Prinsip jurusanku adalah yang paling high fashion, dialah yang paling dihormati. Makanya aku terus bersabar, menahan rasa terbakar yang mulai meluas di telapak kakiku.
“Milla!”. Menoleh ke belakang, kulihat seseorang melambaikan  tangan ke arahku.
“Ghina, ada apa?”
“gak aku hanya ingin berterimakasih”
“buat?”
“hehe itu, aku beli baju desain kamu dari internet, kemarin baru datang lewat kiriman paket kualitasnya baguuuus banget. Gradasi warna pinknya pas,!”
“oh ya? Wah makasih”  , sekitar satu bulan setelah Nana tinggal di rumahku aku dan Nana mulai bikin semacam bisnis baju bersama, aku yang ngedesain, Nana atau  kadang aku  yang ngejahit, syukur-syukur sekarang jadi booming.

Setelah basa-basi singkat, aku pulang ke rumah. Aku masih tingal bareng orang tua, sekalian jaga rumah. Nana  jarang  keluar, ia biasanya menjahit seharian dan mengurus pengiriman baju. Tadinya dia juga mau kuliah, cuman susah, gak ada yang menerima.
“Akhirnya datang juga! Di rumah kamu sepi serem tau!”Keluhnya, mencibir, tangan masih sibuk di atas mesin jahit. “Ya salah sendiri tinggal di rumah aku!” Dia semakin jengkel. Perutnya yang dulu kempes sekarang melendung bagai balon, terus sekarang udah mulai gemuk-baguslah daripada kayak tengkorak berjalan melulu.

“oh ya, omong-omong aku baca dari yahoo katanya pas janin umur 21 minggu lebih sebaiknya sang ibu ikut senam hamil”. Aku membanting tubuh di atas kasur, sekujur tubuh capek.
“terus kenapa?” gumamku, siap tidur.
“yah, kudengar dari  ibumu ada tempat kursus khusus senam  hamil dekat sini, tapi aku gak bisa ikut sendiri soalnya banyak dari gerakannya berpasangan, istri biasanya ama suaminya gitu.”
“Jadi?intinya apa?”mataku terpejam, santai.
“intinya..mau jadi suamiku?”
“Hah!?”aku terberanjak dari kasur. “Na! Aku cewek loh!?”
“Maksudku buat nemenin senam doang‼”
“ooh….(lega), habis pilihan katamu aneh”
“yah namanya juga bercanda, besok ya jam 10 aku udah ngedaftar, kamu besok libur kan?”
Aku menganggukkan kepala.
“ok, kalau gitu sok tidur lagi sana entar aku bangunin jam 6”
Suara mesin jahit mengantarku tidur
**
Ternyata tempat kursus ini populer juga. Entah berapa pasangan muda yang sedang mengantri di depan gedung tersebut, untung Nana booking duluan sehingga kita tinggal masuk ke salah satu  kelas yang ada saja. Kelasnya enak, lantai kayunya mengkilap dan jelas terurus. Cermin ditempel di seluruh dinding, dan terdapat dispenser, beserta gelas yang bersih, kamar mandi juga dekat dan  lengkap (ada showernya), benar-benar tempat kursus yang elit.

Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya datang, ia memakai spandex dan kaos gombrang. Dari mukanya dia terlihat seperti orang yang ramah. “baik semuanya, sebelum mulai senam, saya ingin memberi selamat kepada kalian semua atas berkah yang kalian terima, dan mendoakan agar kalian dapat melahirkan bayi yang sehat. Ayo mari tepuk tangan”ia bertepuk dengan keras, kemudian diiringi oleh semua yang ada di ruangan. Tiba-tiba ,ibu itu menoleh ke arah mata kami, ia tersenyum lebar. “wah sepertinya hari ini kita datangan pasangan  lesbi pula, selamat aku kagum pada keberanian kalian berdua.”

Lagi-lagi kita semua tepuk tangan. Sambil terus tepuk tangan tanpa henti, aku dan Nana berdua menoleh ke belakang penasaran siapa yang disebut pasanganv lesbi tersebut. Namun, setelah melihat tak ada apapun di belakang kita selain cermin, barulah aku sadar bahwa yang disebut pasangan lesbi itu kami.
“Tunggu!” baik aku dan Nana sama-sama protes. “anu..kami normal kok sama sekali bukan lesbi”
“iya itu benar” Nana ikut menegaskan. Dia hanya tertawa “sudahlah tak usah malu, sebenarnya udah ada kok yang lesbi di sini sebelumnya aku  udah kebiasa….Oh, tapi waktu  itu juga pernah ada pasangan suami istri…tapi suaminya terlihat seperti wanita soalnya tubuhnya dioperasi plastik, apa kalian juga sama seperti pasangan  tersebut?”

“Sama sekali tidak!”aku  menolak keras. “kenapa juga si ibu malah menafsirkannya ke situ?”pikirku sambil berusaha mendinginkan emosi.
“kami hanya teman,umm suamiku lagi dinas”ucap Nana dengan nada yang menyakinkan. Si ibu tua kemudian  minta maaf, dan mulai ngajar.Di luar dugaan pelajaran begini, menyenangkan juga baik aku dan Nana sama-sama belajar banyak. Kita juga jadi lebih kebayang dengan apa yang harus kita lakukan pas mau ngelahirin nanti, cara napas yang benar, cara ngehemat tenaga, pokoknya berguna sekali.
Keluar-keluar, tubuh terasa segar “suatu hari nanti pasti aku akan ke sini bareng suamiku”ucapku sambil meregangkan tangan. Nana ketawa “jangan jauh-jauh, pacar aja belum ada”

“berisik!” lagi-lagi ia merusak moodku. “ah, aku mau ke wc dulu ya kamu tunggu aja di depan”dia langsung cabut. Aku pun menuju pintu keluar,- BUK!.. Wajahku kepukul raket tennis. “ah maaf”ucap seorang pria yang sepertinya sebaya denganku. Pemegang raket tennis itu…yah aku gak akan bohong, badannya bagus-berotot. Mungkin sixpack, “kau tak apa-apa?”tanya kembali, menarik hati-hati poniku. Mukanya cakep, “Aku gak apa-apa” akhirnya aku  menjawab juga, memang aku sadar bahwa udah terlalu lama bengong. Dia terlihat lega, sambil menghela napas ia berkata “syukurlah, maaf ya tadi aku iseng mengayun-ayunkan raket sembarangan..kena muka tadi?”

“Iya gak apa-apa kok, um tapi kalau boleh nanya kenapa bawa-bawa raket ke sini?”
“oh,yah sebenarnya aku juga tadi gak niat ke sini, cuman tiba-tiba temanku yang kerja di sini bilang mau ikut ke lapangan tenis jadi…”
“Milla, aku udah ke wc pulang yuk”Tiba-tiba Nana datang, jujur aku merasa terganggu. “ah maaf…aku mengganggu ya”ucapnya, sadar juga. “gak apa-apa, kita juga baru bertemu  ya kan..umm”ucapku  sengaja ngumpan nama.

“Aditya Randika…panggil aja Randi, lalu namamu..Milla?”
“Kamilla, panggil aja Milla”kami bersalaman tangan. Lalu menatap wajah masing-masing untuk beberapa detik. “So…Milla?pulang?”Nana kembali merusak suasana. “iya..ayo”terpaksa, aku pun bilang iya dan mulai berjalan menuju pintu. Tiba-tiba,

“Milla”


Aku menoleh ke arah Randi yang terus mendekatiku “umm, aku baru saja memukul wajahmu dengan raket tennis umm…ah..u,..a..., biarkan aku mentraktirmu makan siang aku bisa batalkan permainan tennisku, yah tapi itu juga kalau kamu mau sih kalau gak aku..a…”sepertinya dia berbicara dengan spontan. Aku tertawa mendengar coletahannya“Jangan, hari ini aku gak bisa” Ia terlihat sedikit murung. Aku mengeluarkan  pulpen dan buku sketsaku, yang emang setiap hari kubawa-bisi dapat inspirasi yang bagus. Kurobek sebagian kecil dari kertasnya “tapi aku  bebas esok siang..ini nomor hp dan alamatku, telepon kapan saja kau bisa”ucapku sambil menaruh secarik kertas tersebut di tangannya. Ia tersenyum, berkata bahwa ia pasti akan mengkabariku, lalu aku dan Nana akhirnya masuk ke mobil dimana Nana berkomentar “genit dasar!”
Aku tertawa.

**

Kalau dulu SMA ada yang bilang kepadaku bahwa suatu hari nanti aku akan  masuk sekolah seni ternama bahkan dapat lulus sekolah tersebut  kurang dari 1 tahun, punya toko baju di rumah, pacar ganteng, teman hamil, dan mengurus fashion show sendiri…pasti aku tak akan percaya. Tapi, faktanya sekarang itulah yang terjadi…Nana sekarang hamil 8 bulan, sebulan lagi akhirnya kita dapat melihat bagaimana sebenaranya wajah anak Nana yang sampai sekarang belum dicek jenis kelaminnya apa. Yah, tapi emang gak ada waktu meriksa juga sih…sekarang aku sedang mengurus fashion show semacam  tugas akhir yang akan menentukan lulus atau tidaknya aku. Pacarku, Randi juga menghadirinya (ternyata dia 4 tahun lebih tua, dan sekarang bekerja sebagai fotografer). Aku melambai ke arahnya dari balik tirai panggung, dia memotretku.

“Mill!”-masalah kembali muncul. Sudah  aku pelajari bahwa fashion show mau sekecil atau sebesar apapun juga, pasti merepotkan…tapi tetap saja tidak kuduga bakal sekacau  ini. Model telat, baju harus dijahitkan di modelnya, bolak-balik cari perhiasan yang cocok dengan busana, hair-makeup. Rasanya kepalaku mau meledak. “Padahal ini baru persiapan…belum mulai”gumamku, sambil menjahit baju di  atas model (aku lupa bikin zipper di salah satu bajunya…bodoh).

“Nah sekarang mari kita sambut baju kreasi Kamilla Hurniawan‼”. Tiba-tiba MC berkata begitu dan dengan terpaksa aku langsung meneriaki model yang lain untuk langsung berbaris dan mulai berjalan di atas catwalk. Setelah satu model maju ke depan aku punya waktu 1,5 menit untuk mengganti pakaian model yang udah turun tersebut ke baju keduanya, sambil waspada jangan sampai ada pasangan baju yang tertukar apalagi pakaian yang tak cocok, it’s hell dude.

Teman-teman  yang bersedia jadi asistenku juga tak begitu banyak membantu, *drrt*, hpku bergetar. “Sial !”pikirku-stress. Kuraih hpku, sudah niat kutolak tapi masalahnya yang menelpon itu Nana. “kok aneh, tumben dia telepon padahal aku udah bilang hari ini bakal sibuk” pikirku sambil terus membantu mengganti pakaian salah satu  model. “Ghina‼ bisa tolong koordinir ini semua sebentar, aku ada telepon dari Nana bisi ada apa-apa!”. Ia menganggukan kepala dan mulai menggantikanku, di sudut ruangan kulihat guru menggelengkan kepalanya –emang, harusnya aku tidak melakukan itu saat sedang dieval begitu tapi sudahlah, aku punya perasaan tidak enak.

“Kenapa Nan?”aku teriak, musik di belakangku sangat keras. Yang terdengar hanyalah suara statis dan isakan-mungkin ia sedang nangis. “Nan!?”aku  mulai risau. “Bayinya….” Sedikit-sedikit suaranya mulai jelas.
“A…air ketubanku bocor‼bayinya entar lagi keluar”

Mulutku menganga, rahang hampir saja jatuh ke lantai. “Apa!? Harusnya kan bulan Juni, sebulan lagi‼”aku ikut panik. “Aku tak tahu, aku jatuh dari tangga dan-semuanya terjadi dengan begitu cepat Mill, pembantumu kan pulang kampung, aku telpon ambulans, 911, semua gak diangkat coba!?  cepat ke sini, kumohoon‼”-ia menjerit kesakitan. Gawat, aku tak mau dia terus menderita begini. “De-dengar Nan, umm terus nafas kayak yang waktu itu pas kursus senam, aku akan telepon tetangga meminta mereka untuk mengantarmu ke rumah sakit oke?!”

Secepat mungkin-aku telpon semua tetanggaku, juga rumah sakit terdekat- tak ada yang menjawab. “Brengsek‼”-dengan begitu aku berlari ke pintu keluar barat-terhalang, kiri-terhalang. Benar-benar tak ada exit kecuali lewat panggung depan yang sekarang penuh dengan model-modelku. “aku pasti bakal disuruh ngulang lagi sekolah kalau aku keluar dari situ..tapi…”

Masa bodo…

Aku sprint ke atas catwalk, mendorong semua modelku sampai jatuh ke arah penonton…dan sepertinya saat aku lompat dari panggung kecil  itu, aku tak sengaja menendang  muka dosenku  yang kebetulan sedang nonton di bangku  paling depan, dengan hak 10 cm ku…Yap, aku pasti bakal disuruh mengulang, atau mungkin juga dikeluarkan  hmmm…

Akhirnya dengan susah payah aku  sampai di parkir depan , tangan bergemetaran, kunci mobil susah sekali dimasukkan  ke lubangnya. “Mill!”kulihat Randi berlari kencang ke arahku, sambil terus memikul kameranya. Ia terlihat kehabisan napas “Mil, ada apa!?”
“itu, Nana melahirkan-tak ada orang di rumah dan ambulans gak bisa ditelpon pokoknya dia butuh aku deh!”aku akhirnya dapat membuka pintunya. “Kalau begitu kenapa tadi kamu gak sms aku aja, suruh antar dia  ke rumah sakit…aku bawa mobil loh!”

Aku bengong sejenak-“benar juga ya?”pikirku, sedikit tertegun mengapa tak terpikirkan sebelmunya.
“Benar juga sih,kenapa gak bilang dari tadi!?”...itu pertanyaan bodoh.
“Ya aku kan gak ta..”
“Ah sudahlah, kamu malah menunda waktu…nanti kutelpon-hush minggir!”
Kesal, dan merasa bego aku menyetir kencang mobil mini cooperku menuju rumah, Nana sudah  merintih kesakitan di lantai napasnya berantakan…aku berusaha menggotongnya berdiri, kemudian sampailah kita di rumah sakit. Kalau adrenalin sedang memuncak-sepertinya apapun yang dilakukan, dilakukan dengan sangat cepat bahkan seperti hanya berlalu satu detik saja. Masuk rumah sakit, mencari dokter yang nganggur, membantu Nana melahirkan (entah sudah berapa kali aku berkata “Dorong! Dorong!”), pingsan setelah melihat kepala bayi mulai keluar...     

Semua terjadi begitu cepat sampai-sampai semua menjadi samar-samar saja.
….
Hanya satu kejadian yang benar-benar kuingat dengan jelas….yaitu tangisan seorang bayi kecil yang baru  pertama kali keluar ke dunia ini, dan juga aku akan selalu ingat ekspresi wajah seorang ibu saat pertama kali melihat anaknya. “Nana….”ucapku dengan suara pelan, terus mendekati bayi yang ada di dekapan  tangannya. “udah puas pingsannya?”ia berkata begitu dengan mata sembab… sambil terus menatapi bayi perempuan mungil tersebut. Aku menganggukan kepala, jari kelingking Nana terus dipegang anaknya. “Sayang lihat, kalau bukan karena orang ini…kamu gak akan lahir loh!” ia menunjuk ke arahku. Aku hanya tersenyum, dan mungkin hanya perasaanku saja, tapi sepertinya bayi itu membalas senyumanku juga.

**

1 komentar:

  1. sori pindah ke sini, di yang kemarin aku nggak bisa komen nggak tau kenapa -___-
    yang pasti di akhir kalimat pake titik :))
    eh kemarin ada foto aneh disini... itu siapalah? hahahaha

    BalasHapus