Selasa, 10 Mei 2011

Sang Penjaga (2)

Suara bantingan pintu, menyambut kedatanganku.
"Mbak, gak apa-apa?"tanya pembantuku, Yani matanya melebar melihat penampilanku yang begitu kotor dan lusuh. "Gak apa-apa kok, tadi aku ngebantuin teman-teman bikin mading di kelas...ini cat"aku menunjuk pada tanganku yang berdarah akibat memegang pecahan beling tadi. Ia hanya menjawab dengan tundukan kepala. Secepat mungkin aku mengurung diri di kamar, berbagai emosi menyerang dalam sekaligus. Bersalah, karena telah melukai sohib, orang yang paling kupercayai, kecewa, orang yang kukagumi sekarang sudah jatuh begitu, marah, menyesal dan yang paling utama rasa kesendirian yang luar biasa. Walau temanku ada banyak selain Nana, tapi tetap saja selama ini aku dan Nana itu bagai keluarga. Sekarang, setelah apa yang telah terjadi bagaimana kita bisa kembali seperti semula?

Andai saja di hidup ini terdapat tombol reset, dengan begitu mungkin perkelahian itu tak akan terjadi,mungkin aku tak akan menggila, tak akan melukai seorang wanita hamil , dan juga tidak akan kehilangan Nana. "bodoh, harusnya kau lebih bisa menahan diri, padahal tangannya tadi juga udah terluka habis mecahin kaca, kau cuman memperburuk kondisi saja tau...."aku mengkritik diriku sendiri, menahan rasa sakit yang mulai memilukan kakiku. Dan bagai orang bego yang tak punya akal sehat saja, aku menangis. Padahal aku sadar...
bahwa air mata itu hanya akan terbuang sia-sia.

Esoknya, semua orang memergokiku . Jika aku mendengar satu orang lagi bertanya 'kenapa?', sepertinya aku harus memotong telinga sendiri. Tangan kananku diperban, paha kiri juga, tapi ditutupi rok abu panjangku sehingga tak terlihat. Seraya mengerjakan tugas, kutatap bangku Nana hampir tanpa henti. Kosong, seperti yang telah kuduga. "Mungkin dia tak akan pernah kembali"pikirku, antara lega dan rindu. Suara ringtone hpku menyadarkanku dari lamunan. "wah-wah"pikirku terkesima, sms dari Ibu-cukup langka, wajib diarsip.

Kubaca isinya 'Kamilla, hari minggu nanti ibu dan ayah akan pulang kali ini kami bawa oleh-oleh. Sampai nanti, love Mom'. 
'love u too'terkirimlah balasanku. Yah, baguslah mereka balik...mungkin mereka akan membantu menyingkirkan mood burukku ini. Hari pun berlalu, pikiran dan emosi masih kacau bagai angin topan-uniknya di saat-saat ini justru aku menjadi lebih rajin, dan gambar desain bajuku meningkat...galau mungkin pendorong semangatku kali ya, aneh.

....Tak seorang pun melihat Nana.

Hari H pun tiba, ortuku bakal pulang. Sedihnya, hujan sepertinya menghalangi kedatangan pesawat  mereka. "lama banget, emang pesawat dari Australia berapa jam sih", dengan gelisah aku lari-lari kecil memutari kasur. "ting-tong"bel pintu berbunyi. "panjang umur", akhirnya datang juga. Sebelum pembantu sempat menuju pintu, aku sudah siap, memegang gagang pintu dan membawa payung, senyum lebar tertempel di wajahku. "Ibu!Ayah!"

"Hai...."
sayangnya, yang orang yang datang bukan yang kuharapkan. Justru sebaliknya.
"Nana...", bajunya basah kuyup rambutnya basah seperti keramas. Kepalanya mendongak ke arahku "aku tahu, ini mungkin bukan waktu yang terbaik tapi...aku butuh tempat untuk menginap"pintanya malu-malu.
"emang kau pikir aku akan biarkan kamu masuk?"jawabku sinis.
Dia menahan pintu, yang tadi sudah siap kututup. "tidak, aku tak mengharapkan kau menolongku sedikitpun"suaranya mengeras, nada tegas. Ia mengelus perutnya.
"Tapi aku harap kau akan menolong janin yang tumbuh di dalam perutku ini." Keningku berkerut, dia akan merawatnya?

Walau ragu, aku mempersilahkannya masuk. Yani terus melototi kita berdua dari belakang, pasti heran kenapa aku dan Nana tak bertingkah seperti biasanya. "Yani, tolong bikinan teh dan bawa ke kamarku, kalau ortuku  pulang, kasih tau ya". Ia menuruti perintahku. Kami berdua diam di kamar, keheningan memenuhi ruangan. Suara dentingan sendok mengenai cangkir hanyalah  satu-satunya suara yang bisa kudengar.

Nana-mungkin kesal, mulai mengelilingi kamar, mengamati semua pernak-pernikku. "koleksi poster Daniel Radcliffemu meningkat ya". Ia mencoba memulai percakapan, aku tak menyahut. Ia mengamati madingku "rancangan bajumu jadi banyak, kau jadi sibuk ya". "...yah mumpung temanku yang suka main udah ditelan bumi"aku kembali menyindir, dia pura-pura tak mendengar. Setelah kulihat dia baik-baik, ternyata badannya mengurus, kulitnya kusam, dan tangan kirinya sekarang dihiasi lubang. Perutku seolah melilit melihat luka tersebut.

"luka tebasku berbekas ya"akhirnya aku bicara juga.
"iya...kamu bertenanga sih"-candaannya hanya menanambah rasa bersalahku. "Maaf..."
Ia tersenyum, padahal aku bergumam, tapi sepertinya ia mendengar.  "aku juga salah...pasti di matamu, aku yang pada saat itu terlihat sangat rendah"
"Ya"kubalas tanpa segan-segan.
Dia tertawa, "duh, aku lupa segimana pedasnya omonganmu biasanya itu! padahal itu kan alasan utama kau gak bisa dapat cowo"
Bibirku mencibir "SD pernah kok"
"SD?"nadanya mengejek. "berisik ih!", ia tertawa puas lagi.
tanpa sadar, suasana mulai mencair.
"seminggu ini kamu kemana aja?', aku kembali memuramkan suasana.
Senyumnya mulai pudar. "di semua rumah saudaraku"
"keluargamu?"
"mengusirku tepat di hari aku tau aku hamil, wajar...toh aku pulang masih dengan darah dan luka berlimpahan,  dibawa ke dokter...ketahuan deh", ia bercerita bagai semuanya baik-baik saja, padahal...jelas tidak.
"Aku menginap di rumah saudaraku semalam, ia mengusirku juga...selanjutnya berpindah ke rumah saudara berikutnya, dan yang berikutnya, sampai aku sadar bahwa tiada di antara mereka yang menerimaku. Seperti yang kau bilang...keluargaku religius"
Aku bersimpati, diusir keluarga pasti bukanlah pengalaman yang menyenangkan.
"Tadinya aku niat ke rumah Tio tapi....mengingat bahwa aku yang...yah, intinya aku tak sanggup menemuinya."
"jadi aku datang ke kamu"
Bingung, mau berkata apa, aku bertanya kembali "bagaimana kau bisa merawat janin itu? kau tak punya tabungan kan, kamu boros lagi"
Baru sekarang mukanya serius
"aku berencana keluar sekolah dan bekerja, sulit, tapi aku akan mencoba...aku tak bisa terus nebeng di rumah orang aku butuh...setidaknya kos-kosan kecil, perlengkapan bayi juga perlu, aku...aku akan bejuang demi anakku ini"
Mendengar kata-kata itu aku takjub,  takjub dengan determinasinya dan juga kebodohannya.
"kau akan bekerja keras di saat kau sedang mengandung, aku tau kau masih di tahap awal tapi ayolah, hamil tetaplah hamil kau mau anakmu cacat?"
"yah gimana lagi aku bisa merawat anak ini? emang kau akan membantuku merawatnya?"
"sayangnya, iya!"kujawab dengan cepat, matanya melebar.
Sebenarnya jawabanku tadi juga spontan, padahal perasaan tidak suka pada perempuan ini masih ada...tapi bagaimanapun juga, dia adalah sahabat, bahkan keluarga bagiku.

"luka di tanganmu gara-gara aku, dan secara tidak langsung aku merasa kau ketahuan hamil dan diusir karena aku juga....kau pikir aku orang tak bertanggung jawab apa?!aku akan membiarkanmu tinggal di sini sampai bayimu lahir, biaya perlengkapan bayinya bisa kutanggung-tau sendiri kan aku ngatur uang gimana, kamar kosong juga banyak. Sudahlah sini saja daripada nasib bayimu  terancam"aku berusaha membujuknya, dan juga menyakinkan diriku sendiri bahwa ini merupakan tindakan paling benar. Meskipun hubungan aku dan Nana sekarang menjadi kacau tapi bukan itu yang penting, yang penting bagaimana aku bisa menjamin kelahiran janin yang takbersalah tersebut. Dari wajahnya aku tahu ia merasa bimbang.

"Ortumu bagaimana, emang mereka bakal setuju?"
Ketukan pintu memotong perbicaraan kita
"Mba, Bapak ama Ibu udah pulang tuh"
Pas banget
"yah, tanyakan langsung saja pada orangnya

2 komentar:

  1. ternyata... kamu pengen banget nulis cewek hamil luar nikah... dulu pas langit nggak jadi dan sekarang disini -_-
    eh kamu kalo ngetik suka sambil buru-buru ya? kalo kata aku sih dari yang Langit itu, banyak yang tanda bacanya kurang... atau ini gaya nulis kamu mungkin ya -,-
    tapi ide cerpen kamu itu memang mengangkat sisi kelam manusia, ya? (apalah)

    BalasHapus
  2. emaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang akuitu hese nentuin tanda baca you know

    BalasHapus