Rabu, 19 Desember 2012

Psycho...tugas kreatif b.indo


Psycho
5 jam yang lalu…..
“Haaah…” kulihat nafasku berembun seraya aku mendesah. Embun tersebut melekat pada kaca mobil yang entah sudah berapa lama kupandang. Segera aku mengayunkan jari, menghapus sebagian dari  embun yang menghalangi pandangan tersebut. “C-A-R-M-E-L-I-A!”, terdengar suara lembut nan merdu menyahutku. 

Aku mendongak ke belakang, menatap langsung pemilik dari suara yang sangat kusayangi tersebut. Seorang laki-laki paruh baya dengan rambut pirang perndek yang disisir rapih ke belakang telinga, hidung mancung yang berlubang beeesaaaar!! Dan mata sayu dengan warna abu tua yang serasi dengan sweater turtle neck bergarisnya. Ya! lelaki yang dahi dan tepi matanya sudah penuh dengan keriput ini adalah ayahku.

“Carmelia, kau tadi akan mengeja namamu bukan?” tanyanya dengan senyuman lebar, menampilkan giginya yang putih. Putihnya hampir seputih selimut salju yang menumpuk di pinggir jalan. “sok tahu!” jawabku dengan nada yang manja, seraya menghapus seluruh sisa embun tersebut . Senyum ayahku melebar. “Tahu dong, kau kan putri kecilku” tangan kirinya mulai mengacak-acak rambutku, sementara tangan kanannya tetap menempel pada setir mobil. “Ayah, hentikan! Matanya lihat ke depan, nanti tabrakan loh!”ujarku sambil mencoba menjauhkan tangannya yang besar itu dari rambutku. “Huuh… padahal baru saja kusisir” pikirku, sambil merapihkan kembali rambut coklatku yang hanya sebahu itu. Sudah 3 bulan tapi belum memanjang 1 cm pun. Seharusnya kupotong sepunggung, aku tidak cocok dengan rambut pendek.

Ayah diam-diam melirikku “Kau terlihat cantik” ujarnya dengan tiba-tiba, mencoba membuatku lebih percaya diri terhadap penamplanku. Ia memang bisa mengerti aku dengan baik, bahkan rasanya seakan dia bisa membaca pikiranku. Aku selalu menyukai hal itu darinya. Anak-anak sekelasku sering mengeluh tentang ayah masing-masing. Menurut mereka, ayah mereka sama sekali tak mengerti mereka dan tidak bisa diajak ngobrol. Tapi ayahku tidak begitu, dia selalu menanyakan kabarku di sekolah, mengajak bermain, dan memanjakanku. Aku mungkin tak punya ibu, atau kakak adik tapi aku tetap mersa beruntung memiliki ayah sepertinya.

Mobil jeep hitam kita pun akhirnya berhenti. “Kami disini”, aku segera membuka pintu dan melompat keluar.  Meskipun memakai sepatu boots, kakiku tetap terasa dingin saat menapak salju. Setiap mengeluarkan napas, napasku berembun, menghalangi pandanganku. Tapi aku tetap saja terpukau oleh pemandangan yang mengelilingiku.

Lampu-lampu dengan berbagai warna bergantungan di mana-mana, dilitkan dari satu pohon ke pohon yang lain. Ada juga yang dililitkan pada tubuh seorang anak kecil, sehingga ia hanya bisa diam pasrah sementara teman-temannya terus mengitarinya, semakin memperbanyak ikatan lampu yang mengekang tubuhnya. Hihi…aku tertawa melihatnya.

Ada juga yang membuat boneka salju, malaikat salju, dan bahkan ada yang berhasil membuat igloo. Aku ingin memasukinya. Tapi yang paling mempesonaku adalah danau luas yang kini telah membeku itu. Danau Torres, danau terbesar di negeriku. Setiap musim dingin, pasti dijadikan tempat ice skating, juga sebagai tempat untuk  acara tahunan Winter Festival…acara yang kebetulan memiliki tanggal yang sama dengan tanggal ulang tahunku. Di Festival tersebut ada lomba mengukir es, lomba makan pie, dan pertunjukkan kembang api. Ada juga stand-stand makanan, minuman dan permainan berhadiah.

Ayahku menggapai tanganku dan bertanya “Jadi, apa yang pertama ingin kau lakukan?”
Ice skating!” jawabku riang.
“Oke! Tunggu di situ dekat stand gulali ok?ayah akan menyewa sepatunya dulu” ia memeriksa dompetnya sejenak, menghitung jumlahnya dengan teliti.
Aku menangguk, “ok, tapi aku boleh beli gulali dan memainkan permainan berhadiah sambil menunggu  kan?”

Dahi ayahku mengkerut mendengar permintaanku. Keadaan ekonomi kita…yah…bisa dibilang kurang baik. Kita tak miskin tapi kita tak begitu makmur juga. Bisa dibilang kita pas-pasan, tapi aku tak keberatan dengan itu. Ayahku bekerja 13 jam perhari, 6 hari dalam seminggu untuk menghidupi kehidupan kita berdua, dan aku sangat mensyukuri itu.

Dengan ragu, ia menyerahkan 15 dolar. Itu cukup untuk sebuah gulali dan kira-kira 2 kali coba dalam permainan berhadiah. Aku senang menerimanya, ada boneka beruang yang kulihat terpajang manis di stand permainan tembak-tembakan, tepat di samping kiri penjual gulali. Mungkin sedikit keanak-anakan untuk anak yang berumur 10 tahun sepertiku, tapi aku pengeloksi beruang yang setia, dan beruang kutub berdasi pita itu akan terlihat sangat manis bersama koleksiku yang lainnya.

Aku berlari menuju stand permainan tersebut. “Hati-hati!” seru ayahku, sambil menuju arah yang berlawanan. Seorang laki-laki muda berambut hitam acak-acakan, dan bibir ditindik menjaga stand tersebut, badannya terlihat kurus meskipun dibalut berapa lapis baju yang tebal.

“5 dolar, 1 kali coba gadis kecil” ucap lelaki berkumis tersembut sambil menghisap dalam-dalam batang rokoknya. 5 dolar, 1 kali coba, pelit sekali laki-laki ini. Aku mencoba membujuk diri untuk berpindah ke permainan yang lain, tapi melihat mata mengkilat beruang tersebut aku hampir meneteskan air liur. Dengan berat hati aku menyerahkan uangnya, dan ia pun memberiku pistol dart beserta isinya, aku harus mengisinya secara manual. “lihat, alien-alien kecil dengan tanda x itu? Mereka akan berbunyi ketika kau mengenainya. Mereka akan bergerak setelah aku menekan tombol. Siap?mulai!”

“Tu-tunggu!!” alien-alien bergagang kayu itu pun mulai bergerak dengan kecepatan luar biasa. Aku bahkan belum mengisi pistol mainan. Aku mulai panic, dan fokusku hilang. Saat aku akhirnya siap menembak, aku meleset….jauh…mengenai beruang yang aku inginkan. Yah, mungkin itu menunjukkan sebagaimana besar aku menginginkannya.

Penjaga stand tersebut tertawa, “wah kau payah sekali gadis kecil!”. Komentarnya itu membuat pipiku memanas. “2 kali lagi”
“10 dolar” ia meniupkan asap rokoknya ke mukaku. Orang ini benar-benar menjengkelkan. “7 dolar!” tawarku, dengan suara lantang. Pria tersebut tersebut “ok, 7 dollar…tapi beberapa kalipun kau mencoba aku ragu kau akan memenangkan apapun, gadis cilik”
Aku cemberut mendengar ledekannya, tapi aku tetap menyerahkannya uangnya tanpa banyak berkomentar. “mulai!”

Lagi-lagi, gambar-gambar alien yang terbang dengan arah tidak jelas itu pun luput dari termbakanku. Aku menarik napas dan mencoba lagi tapi sama saja hasilnya. Aku tak mendapatkan apa yang kumau.
Mesin yang menggerakan alien hijau kecil itu pun dihentikan, dan aku benar-benar kesal melihat wajah sombong di wajah lelaki tersebut. “Setidaknya kau berusaha anak kecil!”ujarnya, lagi-lagi menghisap dalam-dalam sisa dari rokoknya tersebut.
“1 kali lagi, 3 dolar! Kumohon!”pintaku sambil menjinjit--jinjit menarik perhatian sang penjaga stand. “tak bisa gadis kecil…tak ada diskon lagi!”jawabnya, sambil menggelengkan kepala. “kumohhoooon!” pintaku lagi.

“Ada apa Lia?” Tanya ayahku seraya berjalan menghampiriku melewati kerumunan orang yang semakin bertambah, ia memegang kedua pasang sepatu Ice Skating di tangan kirinya. Satu pasang untukku dan satu pasang untuknya.
“Ayah! Aku benar-benar menginginkan beruang kutub itu. Ayah bisa memenangkannya untukku tidak?Pleaaaassseee!” 

  Ayahku melirik ke permainan yang di depannya, tanpa ragu dapat kulihat bahwa ia tidak percaya diri bisa melakukannnya. Ayahku bukan orang yang pandai dalam permainan, dia bisa main kartu atau monopoli. Tapi kalau urusan olahraga atau membidik seperti sekarang, dia luar biasa payah. Mungkin itu genetis di keluargaku.
“umm….aku tak begitu pandai dalam hal seperti ini akung"jawabnya dengan ragu. “tapi ayah….aku benar-benar menginginkannya. Anggap saja sebagai hadiah ulang tahun”
“Benar, ayah belum membelimu kado tapi…”

“Kalau mau, aku dapat memenangkannya untukmu!” sela seorang wanita cantik bermata hijau dengan rambut lurus sebahu berwarna coklat, entah sejak kapan berdiri di belakang kita. Ia mengenakan kostum boneka salju yang panjangnya selutut, sepatu putih yang membulat dan dandanan yang sangat tebal. Matanya dihiasi glitter biru yang mencolok, dan bibirnya pun diwarna biru yang menyala. 

“Maaf, aku tak sengaja mendengar dilema kecil kalian. Kalau kalian mau aku bisa memenangkan hadiah itu dengan mudah untuk kalian”ujar wanita yang kira-kira berumur 30 tahun itu. “Mau!” responku dengan cepat. Sementara ayahku memicingkan mata, “maaf tapi, syaratnya apa ya?” tanyanya dengan malu-malu.
“Hehe…apakah kau menduga aku segitu jahatnya? Aku tak akan menipu seorang gadis kecil, apalagi di hari ulang tahunnya.”jawabnya dengan riang, walau terlihat sedikit terhina.
“Ah! Bukan itu maksudku..ta..tapi”

“Haha! Tenang saja pak. Aku tak tersinggung. Oh dan kau benar, aku memang ingin ganjaran atas jasa kecilku ini, tapi bukan ganjaran uang atau semacamnya!” ia mengeluarkan formulir dan pulpen dari kantung kostumnya. 

“Kalau aku memenangkan beruang itu, bisakah bapak mengisi formulir ini? Ini survey mengenai perusahaan boneka dimana aku kerja, ‘Jack Frost.inc’. Bisa dibilang perusahaan ini baru dan  kita butuh masukan terhadap produk kita, lihat stand dengan boneka manusia salju yang di seberang itu, itu stand kita. Seperti yang bapak bisa lihat, bonekanya tidak terlalu laku dan bos aku berpikir itu karena kualitasnya, jadi dia menyuruh aku dan beberapa orang melakukan survey kusioner dan yah begitulah…tak begitu banyak orang ingin mengisinya saat menikmati festival, sementara aku benar-benar ingin keluar dari kostum ini dan pulang ke anakku yang masih kecil jadi….”

“Kau ingin aku mengisi kuisionermu agar kau bisa cepat pulang, aku mengerti. Tapi aku sama sekali tak tahu apapun tentang produk perusahanmu”

“Itu tak apa-apa, silahkan mengarang saja, tapi tolong jangan lupa tulis nama, alamat, kode pos dan nomor teleponmu. Jangan alamat atau nomor palsu ya,  nanti bos aku akan mengira aku yang mengisi sendiri kuisionernya.” Ia mendesah dan mengggerutu, sepertinya ia benar-benar tidak menyukai pekerjaannya.

“Ok, aku setuju” jawab ayahku sambil mengambil pulpen dan formulir dari wanitu muda tersebut.
“bagus!” wanita tersebut dengan penuh percaya diri menghampiri penjaga stand yang bertindik tersebut. Ia menaruh 5 dollar di atas meja stand tersebut, dan memasukkan dart ke dalam pistol mainan tersebut. Lelaki yang sepertinya perokok berat itu pun menyalakan kembali rokok yang baru dan menekan tombol  merah di samping kanannya“siap, mulai!”

Mesin itu pun mulai beraksi lagi. Aliennya  bertanda merah x itu  pun mulai bergerak kesana-kemari. “perhatikan aku baik-baik ya, nak” ucap wanita tersebut, sambil mengedipkan mata ke arahku. Aku pun mengalihkan focus ke arahnya. *DOR* dengan satu tembakan, dart tersebut mengenai salah satu dari alien yang gesit itu. Aku dan ayah tepuk tangan atas keahliannya.

“Hebat!”seruku, terpukau. Penjaga stand terlihat sedikit kesal dengan kemenangan wanita tersebut, tapi meskipun begitu ia tetap menyerahkan boneka yang aku inginkan padanya, dan kembali menikmati kehangatan rokoknya.

“Tolong is formulirnya ya!”ucap wanita itu seraya menatap ayahku yang masih semangat menepuk tangan tanpa henti. “ah, ya!” ia pun mencoba mengisi formulir tersebut dengan tangan kirinya sebagai alas, sementara wanita itu dengan senyuman lebar menyerahkan boneka beruang kutub ke pelukanku.
“terimakasih!”ucapku, sambil mengelus bulu halus dari bahan yang membuat boneka tersebut.
“Sama-sama”, wanita itu mendadak diam. Ia melihat jam tangannya dengan resah, mungkin tak sabar ingin pulang. Kemudian tiba-tiba ia bertanya,“Umurmu berapa?”

“Hari ini aku menjadi 10 tahun”
“Benarkah? Wahh...kau sudah besar. Tante jadi penasaran bagaimana anakku saat seumuran kamu nanti.”Ia mulai mengusap rambutku. Tangannya besar untuk ukuran seorang perempuan.
“Emang umur anak tante berapa?” tanyaku penasaran.
“ 1 tahun…huh, aku ibu yang buruk meninggalkannya sendirian di rumah, padaha ia masih semuda itu” ia mendesah lagi, kali ini dengan nada yang pilu. Air mata berlinangan di matanya, aku sedikit kaget melihat sifatnya berubah. Ia pasti khawatir dengan keadaan anaknya.

“Kurasa….anak tante beruntung mempunyai ibu jago menembak seperti tante”ucapku dengan spontan. Wanita itu mulai tersenyum kembali. “Kau mencoba menghiburku?...terimakasih”
“apakah ini benar?” ayahku mengembalikan formulir dan pulpen wanita tersebut. Dengan seksama wanita kurus berambut coklat itu membaca isisan ayahku.

“Kau tinggal di Oakwood, di ibu kota? Itu cukup jauh dari sini.”komentarnya setelah melihat seluruh bagian formulir tersebut.

“Ya memang, tapi hari ini ulang tahun anakku. Apapun yang dia mau akan kuturuti” Ayah memegang bahuku dan menarikku mendekatinya, badannya terasa hangat.

Wanita itu kembali melihat jam tangan bertali merahnya, “Kalau begitu aku berterimakasih atas kerja sama anda bapak Charles. Terimakasih juga ummm..” ia melirik ke arahku menunggu jawaban.
“Carmelia”jawabku singkat.

“Charles dan Carmelia,nama yang serasi sekali!” pujinya sambil mengambil tisu dari kantongnya dan dengan semangat menghapus sisa make up di mukanya. “Terimakasih ya kalian berdua. Selamat menikmati festival, sampai jumpa!” wanita itu berlari begitu cepat.

“Sampai jumpa!” aku dan ayahku membalas dengan serentak sambil melambai-lambaikan tangan.
well…ayo ice skating” ajak ayahku sambil mengambil boneka baruku dan memberiku sepasang sepatu ice skating. Aku segera memakainya dan mulai meluncur. Ayah tak lama kemudian pun mengikuti, aku mengelilingi danau yang beku itu, entah beberapa kali. Berbagai orang berlalu lalang, dan bersenang-senang. Hal yang wajar mengingat jumlah orang yang menghuni Tredony. Tredony bukan negeri yang besar, hanya sekitar 628 km2 sedikit lebih besar daripada negeri Andorra, tapi meskipun begitu penduduknya cukup banyak.Tredony dipimpin oleh seorang Raja. Kekuasaan Raja akan diturunkan lewat garis keturunan, selama 5 tahun ini Tredony dipimpin oleh Raja Albert Dreadry, dia raja yang baik.

Syukurlah, karena kehendak raja itu absolute di negeri ini. Apapun yang raja inginkan ia dapatkan, ayah sepertinya tidak suka fakta itu. Ia selalu beranggapan kalau system pemerintahan seperti itu akan memunculkan sifat dictator, tapi raja kita baik, istrinya sang Ratu Ferilin juga sama. Tak jarang mereka melakukan kunjungan ke yatim piatu, dan mengayomi orang miskin. Sekolah 12 tahun juga gratis . Secara Keseluruhan aku sangat menyukai tinggal di Tredony,dan lebih tepatnya lagi  Oakwood, ibu kota Tredony.

Tredony terdiri dari 7 kota, Oakwood merupakan kota terluas dan termodern diantara mereka semua, penuh dengan gedung-gedung pencakar langit, perusahaan-perusahaan global dan toko-toko barang bermerk. Ayahku pegawai di perusahaan perbaikan computer kecil disana, dia mencintai pekerjaannya tapi badannya yang sudah berumur sayangnya tidak bisa mengikuti semangatnya.

Ayah tiba-tiba menarikku dan memutarkanku beberapa kali. Aku jongkok dan meluncur melewati kedua kakinya yang terbuka lebar. “Aduh!”, aku tak sengaja membuat ayahku tersandung. Mukanya menabrak es yang keras dan dingin. Hidungnya yang mancung menjadi merah menyala. “Ayah!!maaf, gak apa-apa?” tanyaku cemas. “Ayah baik-baik saja”

DUARR!! DUARR!! Suara menggelegar dan kilatan cahaya mengagetkanku, aku melirik keatas dan melihatnya, biru, merah, hijau, kuning, berbagai warna menari-nari di kain hitam bernama langit malam hari. Warnanya terang nan menyilaukan, suaranya keras membuat hati berdebar-debar. “Waaaahhh!” aku hanya bisa mengadahkan kepala ke langit yang begitu indah. Semuanya begitu menakjubkan, pandanganku tak bisa teralihkan darinya. Ledakan warna yang sambung menyambung, rasa hangat yang menggelitik tubuh, semuanya terasa begitu ajaib!!

“Happy Birthday!” bisik ayahku. Ia menutup mulutku yang tanpa sadar kubiarkan menganga entah seberapa lama. Ia masih duduk manis di es yang dinginnya menusuk itu. Ia tersenyum, senyuman lebar yang menampilkan giginya yang putih dan membuat keriput di sisi bibirnya berlipat ganda. Dengan tangannya yang besar, ia menarikku ke pelukannya. Aku pun duduk di pangkuannya, tangannya membalutku bagaikan selimut wool yang tebal. Aku membalas senyumannya dengan senyuman yang tak kalah lebar. “Aku sayang ayah”bisikku lembut. “Aku sayang kamu juga”

Aku senang. Sangat senang!
Aku ingin hari ini tak berakhir!
…..
…..
…..
…setidaknya awalnya aku berpikir seperti itu.

“DOR!!DORR!!”

Suara menggelegar dan kilatan cahaya kembali mengagetkanku. Itulah sambutan yang kudapatkan setelah melewati daun pintu rumahku yang hanya terdiri dari 1 lantai dan 5 ruangan itu. Sambutan yang suaranya hampir sama persis dengan suara kembang api. Tarian kembang api yang indah, menawan, memukau…sebuah tarian yang tak terlupakan. Namun ini bukan kembang api, bukan tarian ledakan cahaya berwarna yang indah, bukan api hangat yang menenangkan jiwa, bukan kenangan indah yang ingin kukenang seumur hidup sampai mati nanti. Ini…ini adalah mimpi buruk!!

Wanita cantik yang 5 jam yang lalu kuanggap bagai dewi penyelamat, sekarang bagaikan malaikat pencabut nyawa, entah kapan ia menyusupi rumah kita, entah berapa lama ia menanti kedatangan kita.Yang pasti, saat kita membuka pintu, ia tak menyiakan waktu untuk bertindak.

 Warna merah kembali memukauku, tapi ini bukan lagi merah menyala dari petasan-petasan indah yang menghiasi langit malam. Melainkan warna merah yang menodai warna abu dari baju lelaki yang dengan bangga kupanggil “ayah”.
“Ayah!Ayah!!”aku menjerit, badannya yang biasanya begitu kuat dan kokoh sekarang tergeletak lemas di lantai kayu yang dingin. “lari Carmelia!”

“Tak usah repot-repot!”sela wanita yang tak lama yang lalu memakai lipstick dan glitter biru. Sekarang wajahnya bersih dari segala alat pewarna, matanya yang tak lama yang lalu begitu bercahaya dan penuh hidup, sekarang hitam kosong bagai lubang tak berdasar. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat saat gigitannya dilepas, bibirnya akan bergemetar hampir sekencang getaran tangan kanannya yang memegang pistol warna hitam sehitam malam tak berbintang dan berbulan itu.

“lari, dan akan kubunuh ayahmu mengerti!?” –DOR!! Kali ini pelurunya menembus lutut kanan ayahku, jeritan rasa sakitnya tercampur aduk dengan teriakan rasa takutku. “Hentikan!!Hentikann!!” jeritku berulang-ulang, terus melekat pada kain abu yang melekat pada badan ayahku itu. Aku tak akan lari, aku terlalu takut. Takut dengan apa yang akan wanita itu lakukan pada satu-satunya orang yang kuanggap sebagai keluarga itu.

“Kenapa, kau melakukan ini?” gumam ayahku, disela-sela rintihan sakitnya. Wanita itu diam sejenak, mulut pistol tetap menatap lurus dahi ayahku. “Karena aku tak punya pilihan yang lain”
Ia berjalan cepat ke sisi ayahku. Tangannya menggenggam pergelangan tangan kiriku, namun aku hanya terus terisak-isak menguburkan kepala pada dada ayah yang mulai basah tercemar darah yang tak berhenti mengalir. Wanita itu menaruh kain di atas perut ayahku, tepat di atas luka tembakan. Ia membisikkan sesuatu pada telinga ayahku. Suaranya pelan dan bergemetar, namun aku dapat mendengar jelas semua perkataannya.

“Jangan mati! Jangan mati!!”berkali-kali  ia menekankan kata tersebut.
“ Jika kau ingin bertemu dengan anakmu lagi, jangan mati. Mati dan semuanya gagal mengerti?” air mata mulai menggenang di pinggir matanya.

“Di dalam kain ini ada kertas, ikuti semua perintahnya dan anakmu selamat. Melapor pada polisi dan anakmu mati.” Ia berdiri, tak lagi berjongkok di samping ayahku. Tangannya yang terbalut kaus tangan kulit itu mencengkram pergelangan tanganku dengan begitu kuat. Ia melingkarkan kedua lengannya di pinggangku, menarikku dari sisi ayahku yang terluka dan berdarah itu. “AYAAHH!!AYAAHH!!” aku hanya bisa berteriak berharap semua ini hanya mimpi buruk. “CARMELIIAAAA!!!” aku melihat ayahku merangkak, mengerahkan tenanganya untuk menarik tubuhnya yang lepas itu keluar ruangan menuju salju. Namun bagaimanapun juga ia tak bisa mengejar.

“Maafkan aku” ucap wanita tersebut sebelum sebuah kain basah dan lembab menutupi mulut dan hidungku, baunya aneh…memabukkan… Air mata wanita bercucuran, membasahi wajahku. Ya, air matanya begitu deras, bagai hujan yang tak kunjung berhenti, bersatu dengan air mataku yang juga tak mau berhenti. Pandanganku memburam….memburam….memburam………lalu semua gelap….gelap gulita.
…bersambung  


Senin, 30 Mei 2011

tugas

                                        Profil diri
Gadis mungil bernama Dewi Nurfitri, anak bungsu dari 3 bersaudara.  Lahir di Bandung, tanggal 29 Maret 1995. Golongan darah O dan (sedihnya) memiliki tinggi 143 cm. Sejak SD punya hobi mengarang cerita dan menggambar, dan alhamdulillah sampai sekarang SMA kedua hobi itu terus dikembangkan. Paling suka lari dan kurang suka makanan yang manis-manis. Sering makan keripik atau makanan pedas lainnya dan kepedasan sehingga dikira habis nangis. Sekolah di SMAN 3 Bandung, dan pada umur 16 tahun ini masih sedang mencari jati diri dan posisi dalam masyarakat layaknya anak remaja yang lainnya. Motto “semua hasil, sesuai dengan usaha yang telah kau lakukan”

Rabu, 18 Mei 2011

nganggur

Prolog
Kulihat kanan kiri, dinding semen mengekangku.Seorang pria berkeriput masuk dan duduk di seberangku ia minum kopi seteguk sebelum akhirnya meletakkan di meja yang merupakan penghalang diantara kita berdua. Kugaruk-garuk pergelangan tanganku, 'kenapa borgol besi bisa segatal ini?'pikirku terganggu.

"So.."pria itu akhirnya berkata, pandangan menusuk, postur tegak. "Siena Verdigo, anda mengakui pernah melakukan pembunuhan-ia berhenti saat ia buka folder mengenai pengakuanku.."50-120 pembunuhan, ia menatapku ragu. Kau serius?" Aku memberinya senyum kecil, "yeah...kau tak percaya?aku sekarang mungkin hanya seorang wanita di umur 50-an nya tapi dulu aku sangat pintar dan berbahaya kau tahu".  Pria itu sepertinya tak percaya satu kata pun yang keluar dari mulutku, "kalau gitu kenapa polisi tak pernah mencerugaimu lagipula beberpa kasus yang kau akui pernah lakukan itu dulu pernah diperiksa sebelumnya dan walau deskripsi korbannya tepat tapi jejak-jejakmu dn penjelasanmu tak masuk-

"Polisi itu bodoh!" ia lagi-lagi berhenti bicara, muka menunjukkan kekesalannya mendengar komentar pedasku. Aku menatapnya langsung di mata "aku tak pernah meninggalkan jejak makanya tak pernah dicurigai atau ditangkap...dan asal kau tahu penjelasanku masuk akal."nada bicaraku tegas hampir mengancam. Pria itu melonggarkan dasinya keringat bercucuran-lucu bukannya aku yang seharusnya disudutkan?
"Baik"ia menyantaikan diri tubuh menyondong ke depan "Mari kita anggap semua ucapanmu benar, seandainya kau benar-benar seorang pembunuh...kenapa mengaku sekarang?" Aku tersenyum lebih lebar lagi "pertanyaan yg lama tlh kutunggu. Aku menundukkan kepala menatap lantai "untuk menjawab pertnyaan itu aku harus cerita terlebih dahulu....."

Aku dulu baru 7 tahun kakak perempuanku  Marie, usia 13 tahun dan aku sedang bermain di halaman saat itu sedang musim salju seluruh pohon mati dan selimut putih dimana-mana, kolam ikan pun membeku. Marie dan aku bermain skating diatas kolam es itu, orang tua kita sedang pergi kerja dan kita tak punya tetangga. Kita hanya berdua, di rumah kecil dekat hutan...esnya retak, pecah Marie hampir jtuh ke dalam air beku itu tapi aku menariknya jadi dia aman. Dia tersenyum padaku-bersyukur, dia bilang "kalau aku jatuh gimana ya?"...aku melihat es, membayangkan Marie bila dia jatuh. 

Aku memberikan kakakku tersayang itu, senyuman termanisku.
"Mau cari tau?"
BYUR
Aku mendorongnya ke air beku dan mematikan itu...
Dia tak bisa renang aku tahu itu dari dulu...
Dia minta tolong...
Aku diam saja dan menonton, aku ketawa...
Dia tenggelam....tak bernyawa lagi...mati...
 Saat aku sadar aku telah membunuhnya, aku merasa senang...
Dan saat ortuku percaya bahwa ini semua kecelakaan...
Aku makin senang....
Pembunuhannya..perasaan yang kau dapat saat tahu kau
bertanggung jawab atas hilangnya nyawa seorang.....
Sensasi andrenalin...rasa menggelitik
Semua kebahagiaan ada dan....

                                                                                                                                                     I love it.

Minggu, 15 Mei 2011

Sang Penjaga (Terakhir)

Pagi-pagi aku membawa Nessa ke rumah sakit, dia langsung menangis melihat ibunya –sampai-sampai aku ketawa . Toh, Nana akan baik-baik saja…iya kan?
Dokter memeriksanya tiap hari , dia bilang jantungnya terus melemah-dan itu merisaukanku. Tapi sebisa mungkin aku tak menunjukkannya, apalagi di depan Nessa. Nana juga sepertinya, terus berjuang melawan ‘penyakit’ yang menyerangnya. Dokter juga bingung apa yang sebenarnya membuat Nana seperti ini, dia hanya menganjurkan untuk terus berjuang….dan itulah yang kita lakukan.
Lalu suatu hari…
 “Aduh!”seru Nana, rintihannya membangunkanku.
Aku langsung berada di sampinya, memegang tangannya.
“hei..kau tak apa-apa?”tanyaku pelan-pelan, tak ingin membangunkan Nessa yang lagi pulas tertidur di sofa.
“gak apa-apa, seminggu ini sakit seperti tadi udah biasa”-aku sedih mendengar jawaban tersebut.
”Ingin aku memanggil dokter?”
“Jangan…aku gak mau merepotkan”
“kau kan selalu merepotkan”ejekku, siapa tahu dapat menghiburnya.
Ia tertawa….kemudian diam sejenak.
“….aku emang selalu merepotkanmu ,ya?”
“hei aku gak serius”
“Mungkin kau tidak, tapi aku iya”. Aku diam.
“Kau keluar sekolah, gak jadi  nikah, bekerja terlalu keras….”
“kau sia-siakan hidupmu demi aku”ucapnya dengan nada pilu.
“itu gak benar!”bantahku.
“Aku jadi dekat dengan keluargaku karena kamu, merek busana kita juga kan  maju karena bantuan kamu, Nessa juga berkat kamu…dia anak spesial, aku menyayanginya.”
“Ya, aku menyayanginya juga..tapi... kau putus dengan Randi karena aku”
Aku menundukkan kepala sejenak kemudian menjawab.
“suatu hari nanti pasti ada  pria yang lebih pantas untukku, cowo ganteng dan berotot-mungkin sebaya denganku.”
Nana tertawa lagi, kali ini sedikit lebih riang dari sebelumnya.
“haha…kau tak pernah berubah”
“siapa bilang? Aku punya impian sekarang, aku bukan gadis yang dulu tak mau maju dan  tak  punya ambisi atau semangat lagi. Aku telah berubah  180 derajat dari sifatku dulu”
Nana tersenyum “gara-gara aku hamil di luar nikah?”
Aku ikut menyeringai “Semua gara-gara kau hamil di luar nikah”
Kita sama-sama tertawa lega. “Nah, sekarang tidur sana..gimana mau sehat kalau gak istirahat? 2  Bulan lagi kita harus ke Hong Kong  kan?jangan sampai aku harus ke depan catwalk itu sendirian”
“Ga lah, aku pasti akan menemanimu kok  siap-siap saja!”ucapnya sambil mencari posisi nyaman.
“ok…selamat tidur”
Aku menunggunya tidur selama beberapa menit, dia tertidur dengan cepat. Mulut tetap tersenyum.
“Pasti dia lelah”pikirku sambil meyelimutinya…tubuhnya dingin.
….Terlalu dingin.
…..
Malam itu, dokter kupanggil,
       Mereka coba menghidupkan jantungnya kembali….
Tapi mau bagaimanapun juga, kami tak bisa mengubah fakta,
Bahwa Nana sudah  tiada lagi di dunia ini.
*****
 Fashion week di Hongkong, benar-benar beda dengan yang di Indonesia. Jumlah penontonnya, fasilitasnya, bagai mimpi bisa berada di sini. Mimpi yang sibuk dan melelahkan.
“Hei cowok di situ bisa ambilin pin 5!?”…mau gimanapun juga, fashion show pertama dan yang sekarang pun gak banyak berubah sistem kerjaku masih kacau. Yah, setidaknya bantuan ku jadi banyak. Shownya juga sekarang sedang berjalan dengan cukup lancar, entar aku harus ucapkan terimakasih. Pria berkulit kuning iu langsung memberiku 5 pin yang kuminta. Kulihat lagi baik-baik, kurasa pria itu bukan pegawaiku.
“Anu, maaf Kamilla, tapi aku sebenarnya aku bukan  pegawai, sebagai ganti 5 pin tadi boleh gak kita wawancara 5 menit saja?” Aku awalnya ragu namun melihat semua baju sudah hampir beres, aku setuju-setuju saja.
“Ok apa?”
“umm…ya, seperti yang semua ketahui rumornya kau mendadak  mengganti semua rancangan busanamu untuk show hari ini mengapa begitu?”tanyanya, sambil menodong alat rekam terlalu dekat ke wajahku.
“Ya, seperti yang masyarakat umum ketahui..partner kerjaku meninggal 2 bulan lalu, dan menurutku  pemakaman saja tidak cukup. Jadi aku secara khusus mengubah rancangannya untuk dia. Bisa dibilang ini Acara perpisahanku dengannya,  begitulah”jawabku singkat.
“ooh begitu-lalu apakah kau akan mencari penganti untuk rekan kerjamu, apakah orang lain akan menemanimu di atas pangung itu nanti?”
Aku tersenyum “Orang tidak bisa digantikan orang lain, semua orang berbeda…jadi yah mungkin nanti aku akan menemukan rekan  kerja yang lain tapi, siapapun itu nanti…dia bukan  Nana, tak ada satu orang pun yang bisa menggantikan Nana”ucapku tegas. 
“Jadi kau ke depan sendirian?”
MC di depan panggung langsung menyambutku keluar.
“Teh Milla, ayo maju‼” Nessa pun dengan cepat datang dan  menarik gaun pendek warna biruku.
Sang pewawancara terus menatapi Nessa dengan heran. “apa?”tanyaku-menyadarkan pria itu dari lamunanannya.
“Mulai sekarang, dia yang akan ke depan panggung itu bersamaku”
Aku berjalan bergandengan tangan dengan Nessa, meninggalkan pria tersebut
“Apakah mamah bangga denganku sekarang?”tanya Nessa, tepat sebelum kita keluar ke pangung. Aku mengencangkan gandenganku.
“Iya..ia pasti sangat bangga”
Kemudian, kita maju…diiringi tepuk tangan meriah penonton.
***



Bisnis Kamilla meluas ke seluruh dunia
Ia bahkan mendirikan cabang di Paris dan Milan.
Agnessa mengikuti jejak ibunya, dan bergabung dalam bisnis fashion.
Kamila tak pernah menikah atau punya anak sendiri
…..
TAMAT
\

Sang Penjaga (4)


Seperti yang kuduga, aku tidak lulus…malah  lebih parah lagi, aku dikeluarkan. Sebenarnya aku masih ingin sekolah, tapi kalau dipikir-pikir buat apa, dosenku kan cuman  pundung  mukanya kutendang..kalau bukan karena itu aku pasti akan diluluskan, teman-teman seangkatan juga semuanya berpikiran yang sama. Baju buatanku juga semakin laku saja, dari situs internet, jadi ruko, dan  sekarang  jadi toko mandiri . Kami beri nama toko dan merek bajunya “Agnessa”, yang berarti suci dalam bahasa Rusia. Nama merek kita ini juga merupakan nama putri Nana, nama panggilannya Nessa.

5 tahun setelah itu, toko merek kita semakin terkenal  menurut majalah, merek kami ‘merek lokal terpopuler di Indonesia’. Karena ketenaran merek kita itulah, aku dan Nana sering mengadakan fashion show, karena dia juga sudah melahirkan, akhirnya Nana bisa ikut menata acaranya dan kami sering naik ke panggung  bareng, sambil bergandengan, menundukkan kepala dan berterimakasih. Itu sudah menjadi ciri khas kita berdua.   Aku dan Nana, beserta Nessa masih tinggal serumah, tapi bukan di rumah ortuku lagi, melainkan di apartemen cukup luas di Jakarta. Di situ terdapat 3 kamar tidur, 2 kamar mandi utama, dan 1 kamar mandi tamu, ruang tv-sekaligus ruang tamu, ruang makan, dan dapur. Jarang diisi juga sih, biasanya kalau ada tugas di luar kota terpaksa Nessa juga ikut-makanya untuk sementara ia homeschool, setidaknya sampai masuk SD.

“Mamah, ini makanannya udah habis belum?sini Nana cuci”ucap Nessa, seraya pelan-pelan mengangkat piring kotor ibunya itu.
“Eh!? Nessa jangan entar pecah!”
“Sudahlah…”potongku, muncul tiba-tiba, baru pulang mengurus masalah kerja.
“Diam-diam aku ajarin Nessa cara nyuci piring loh, sekarang dia lebih jago dari aku”
“emang kamu bisa nyuci piring?”sindirnya, sambil terus mengamati Nessa..tapi sepertinya dia mulai tenang kembali melihat betapa jagonya  Nessa itu. Dia menghela napas.
“Kurasa Nessa bakal jadi ibu rumah tangga yang baik”candanya, bangga. Aku mengiyakan opininya “semoga aku dapat jadi Ibu rumah tangga yang baik juga, demi Randi”ucapku, mengkhayal.
“oh ya-ya, hari ini anniv ya?ada acara spesial gak?”, ia bertanya sambil terus menjahit gaun desain baruku
“Dia mengajakku  makan  malam di Stone Tarralis.”
“Stone Tarralis!? Wow, restoran itu mahal loh…enak  yah  yang punya pacar”ucapnya jelas cemburu.
Aku tertawa”ya, tapi kau kan punya Nessa…lagipula aku juga sedikit khawatir sama hubunganku dengan Randi…bukannya apa-apa Cuma yah, udah 5 tahun gitu, masa gak yah….”
“melamar?”-akhirnya Nana bertanya juga, aku malu menanyakannya. Aku mengangguk.
“ya sabar, kamu juga baru 24 tahun”
“tapi dia 28, masa gak mikirin nikah sih!”. Nana hanya tertawa seolah omonganku tidak serius.
“Sudahlah,  beri dia waktu dikit lagi, entar juga pasti ngajak nikah kok! dia kalau gak mau nikah, ngapain bersabar denganmu? Udah entar makin stress saja, entar lagi kita ada fashion  show di Hong Kong kan?gak nyangka ya merek pakaian kita bakal setenar ini.” Ucapnya jelas semangat. “Ya,aku  juga kaget”
Nessa menyerangku dari belakangku, memeluk kakiku. “Teh Milla, main yuk!”dia menarik kakiku
“Aduh!  Nessa udah kuat ya, umm setelah aku bantu mamahmu baru kita main yah!”

“Gak mau, maunya sekarang”ucapnya manja, anak kecil emang anak kecil. “main aja Mill, entar lagi aku juga selesai kok”ucap Nana masih fokus menjahit. Aku tersenyum  kemudian menoleh ke arah  Nessa dan mengangkatnya dari lantai, ia tertawa riang. Sifat Nessa persis seperti ibunya, aktif, ramah, dan berani maju, namun penampilan fisiknya lebih cenderung mirip ke Tio (ayahnya)…kadang penampilan Nessa ini, membuat Nana sedih tapi dia tak pernah  terang-terang mengucapkannya, mungkin dia sudah menganggap perasaan itu wajar-wajar saja.

Aku  pun menemani Nessa bermain boneka, sekalian agar aku tak terus melihat jam, memikirkan Randi…3 jam lagi harus siap-siap. Ya, tiap menit terasa seperti satu abad, namun tiba-tiba Nana selesai menjahit dan dia bergabung bermain, -memeriahkan suasana. Sehingga, waktu mulai kembali cepat. Sejak ada Nessa, hidup aku dan Nana seolah selalu mencerah, bisnis kita-jelas meroket, dan  rasa capek seolah tak pernah muncul, hubungan aku dan  keluargaku juga mendekat….(mereka memperlakukannya seperti cucu mereka saja hihi). Beneran, deh Nessa itu..anak ajaib.

Malam pun tiba.
Seperti biasa,  Nessa sudah tidur lelap di kamarnya, dia tipe orang  yang cepat tidur. Sementar, Nana membantuku memilih baju. Entah berapa kali aku keluar masuk kamar, ganti pakaian dan sepatu. Namun akhirnya, perjuangannya tidak sia-sia kami akhirnya menemukan baju cocok, baju  hitam selutut dilengkapi dengan bolero tembus pandang dengan corak kupu-kupu. “bagaimana?”tanyaku, memastikan sambil berputar pelan-pelan agar Nana dapat menilai semua aspek yang ada. “Sempurna!”ucapnya lega. Bel pun berbunyi, Sesuai dugaan Randilah yang mengebel. Ia memakai jas biru tua yang serasi dengan sepatu kulit dan juga dasi birunya. “Pangeranmu datang”ejek Nana, mempersilahkan aku keluar. “Kau terlihat cantik”puji Randi, mengelus pipiku dengan lembut. Aku tersipu.

“umm, Nan aku pergi dulu ya, maaf ninggalin kamu lagi”
“ah gak apa-apa kok, lagipula aku juga sebenarnya masih punya satu gaun lagi yang harus kujahit..kenapa desain kamu banyak banget sih?kenapa gak nyuruh pegawai untuk ngejahit?”keluhnya, mungkin capek.
“Ya, kan aku juga udah bantu  setengahnya! Pegawai kan hanya menjahit baju yang dijual ke masyarakat umum bukan fashion show gimana sih!?”tak sadar, kami mulai berargumen seperti anak kecil. Randi melerai kita berdua “sudah-sudah, 5 tahun  kalian gak berubah juga…Na duluan ya, Milla sayang, ayo”
Dengan begitu kita berpamitan, menikmati malam  masing-masing.

Sesuai dengan gambaran  Randi, Stone Tarallis itu penuh dengan bule dan orang china. Tak berlebihan kalau aku bilang hanya aku dan Randi yang merupakan orang Indonesia di sana. Tapi makanannya enak aku  memesan pasta sementara Randi memesan steak, aku serahkan pilihan minumannya ke Randi.
“restoran ini benar-benar indah”ucapku sambil mengamati lampu chandelier yang terpasang di langit-langit, beserta ukiran di dinding, pilar-pilar menjulang, dan lukisan yang indah pula-semua dibingkai frame emas.
“Aku ingin kencan kali ini spesial, 5 tahun itu cukup lama loh”ucap Randi sambil mengelap saus BBQ yang menempel di bibirnya. Aku senang, tapi sekaligus khawatir “5 tahun yah..”pikirku.
“Randi…”aku sudah ingin nanya apakah pacarku ini niat serius atau tidak tapi…
“apa?”tanyanya terlihat bingung. Aku tak berani melanjutkan, takut ia malah merasa harus melamarku secepat mungkin….kutunggu sampai dia siap saja.

“Bukan apa-apa kok”
Mendadak, aku  menerima sms dari Nana isinya “aku pergi ke toko bahan dulu , nama kain yang untuk gaun putih berlipat itu apa?”
Aku membalasnya, lalu kembali mengalih perhatian ke Randi. Randi tersenyum, kemudian  menarik dan menggenggam tangan  kananku.
“aku sangat senang kau berada di sini sekarang”
Aku tersenyum, ia mengecup punggung  tanganku. “omong-mong aku ada…”
Deringan telepon memotong pembicaraan. “Maaf”ucapku, ia terlihat sedikit terganggu. Yang menelpon merupakan nomor tak dikenal, takut yang menelpon adalah klien aku mengangkatnya. “halo?”tanyaku penasaran. “Mbak ini…”
Randi terus menunggu aku selesai, sementara aku-mendapat berita besar. “udah selesai ngomongnya?”tanya Randi, senyum mulai kembali tersungging di wajahnya. Aku diam, masih sedikit tidak percaya. “a…aku harus pergi!”
“apa!?”ucap Randi kaget. Aku berdiri, semua orang  menoleh ke arahku. “Tadi yang menelpon itu satpam, katanya Nana hampir nabrak tiang dan pingsan di dalam mobil”aku bicara dengan begitu cepat, Randi pasti tak mengerti satupun kata yang keluar dari mulutku.
“Tunggu jadi sekarang…”
“Sekarang, aku akan ke sana, kau bisa mengantarku?”
Randi terlihat terkejut “Tapi kita juga makannya belum selesai, dessertnya kan udah keburu di pesan, setidaknya tunggu sampai dessertnya datang”dia meminta dengan baik.

“Tidak!buat apa juga, sudahlah  kalau gak mau nganterin aku aja naik taksi”
Aku mengeluarkan  uang dari tasku. “Nih, aku ganti rugi”ucapku dengan  tegas. Randi hanya terus melototiku-jelas tidak senang.
“Masuk mobil duluan aku bayar dulu”
Aku menarik uangku dan mengucapkan terimakasih. Kutunggu di mobilnya, untuk waktu yang cukup lama. Saat ia akhirnya masuk mobil mukanya terlihat makin jengkel saja. Suasana tegang menyelimuti kita. Aku sudah meminta maaf, tapi ia tetap tak bergeming. Aku merasa tidak enak, apalagi ini anniv…tapi aku juga khawatir mau gimana lagi.

Sesampainya di rumah sakit suster langsung membimbing kita ke kamar pasien. Dimana Nana sedang berbaring dengan tenang. “Nana”sapaku, aku memeluknya. “hei aku jadi gak enak merusak kencan kalian”ucapnya segan-segan. “ah gak apa-apa kok”aku berbalik, mata tertuju  pada Randi yang masih terlihat kesal dan sedang mengerutu.  Aku sedikit memurung, aku kembali menoleh ke Nana “tadi kamu kenapa?”
“ah gak cuman tidur kecapaian di tepi jalan, mobilnya udah diparkir kok satpam  aja yang lebay.”ucapnya, gerak-geriknya menjadi sedikit canggung. Aku langsung tau bahwa yang dikatakannya itu bohong, tapi mikir-mikir buat apa bohong juga?

“Oh..jadi kita capek-capek ngebut ke sini, bayar mahal makanan yang belum semuanya diterima, buat apa?cuman biar tau kalau  kamu tidur di tepi jalan!?bagus banget”Tib-tiba Randi meledak.
“Randi‼jaga omonganmu!”bentakku. “buat apa!?masa kamu  ngedukung dia, hari ini anniv 5 tahun kita tau!?”
“Yah besok kan kita juga bisa lanjutinkencan kita di tempat lain kan?”

“Besok!?di tempat lain? sudahlah aku tak percaya semua ini!”dia keluar, membanting pintu keras.
Aku izin ke Nana dan mengejarnya. Di luar ia menendang-nendang dinding dan menginjak-injak kursi. “Kamu Kenapa sih!?udah dong!”aku berusaha menenangkannya.
“Kenapa!?kenapa!?aku menyetir jauh-jauh ke sini buat apa!?”ia menjawab dengan histeris.
“Cuman gara-gara teman kamu kecapaian‼dan kamu tak keberatan dengan itu”
“Ya, itu kan karena aku khawatir lagipula menurutku dia bohong kalau ia cuma kecapaian”
“Oh ya!?buat apa juga dia bohong!?hah!?”dia membentakku.
“Ya aku gak tau, mungkin ia takut kita malah  ngerawat dia semalaman mungkin atau..”
“Kita!?kita!?”dia mencela lagi dia menindih tubuhku di atas dinding.
“Yang ada cuman kamu..kamu terlalu menyayanginya! Saat dia melahirkan juga kau malah membentakku tanpa alasan, aku tahu kau sering bilang dia mengubahmu  menjadi orang yang lebih baik tapi…”
“tapi apa?”tanyaku ketakutan, dia meremas lenganku dengan begitu keras.
Dia mulai melepaskanku dan mundur beberapa langkah “tapi jujur bila kau harus memilih antara aku atau dia siapa yang kau  pilih?”

“Kamu…”jawabku  tanpa ragu.
“kenapa ?“ia bertanya lagi.
“Karena…kalau aku kehilangan kamu rasanya tidak ada yang bisa menggantikanmu tapi kalau Nana…rasanya tidak begitu”
“jadi maksudmu kalau kamu kehilangan Nana juga pasti dia kembali, dan aku tidak!? Jadi aku tidak setia gitu!?”.

“Bukan gitu, kenapa kamu jadi gak logis gini sih!?”aku mulai kesal.
“Dessert‼ dessert padahal tinggal makan dessert aja baru kita bisa ke sini!”dia mulai merantau gak jelas.
“Dari tadi dessert terus emang apa yang spesial sih!?emang kau segitu pelit gak mau ruginya apa!?”aku membentaknya. Dia diam, menyapu rambut yang mulai menghalangi pandangannya. “tangan”-ia memintaku mengulurkan tangan kananku. Dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, tak bisa kulihat karena dia terus menutupinya dalam genggamannya. Ia menaruh benda tersebut di atas telapak  tanganku , lalu mengangkat tangannya sendiri sehingga aku bisa melihat jelas benda tersebut.

Cincin perak mungil, dengan sebuah permata berkilauan yang besar. Kuamati lebih baik lagi, di dalamnya terukir nama aku dan Randi….aku terus terpana, aku memasang cincin itu di jari manis kananku.

“Pas..”gumamku, setetes air mata tiba-tiba keluar dari mata kiriku. Randi terus mengindar kontak mata denganku. “tadinya..aku mau melamarmu, aku sampai suruh pelayannya untuk taruh cincinnya di piring dessertmu dengan mawar merah pula, biar berkesan lebih romantis”dia mulai tersenyum  pilu.
“mungkin seharusnya kutaruh di dasar gelasmu saja ya?”

Air mata kembali jatuh. “Randi ini…kita bisa…”
“tidak, aku udah tau apa yang kau minta dan tidak..maaf, aku tak bisa terus begini denganmu, aku butuh istri yang peduli dan sayang ke aku, bukan ke sahabatnya….”
Aku terdiam, berusaha melawan air mata yang sepertinya tak kunjung henti keluar.
Ia mengelus rambutku,  “lagipula kau masih sibuk dengan pekerjaanmu…dan kau masih muda, aku yakin ada lelaki yang lebih pantas untukmu “

“tapi aku ingin kamu..”bisikku pelan-pelan. Ia memegang jari manisku, “simpan baik-baik…anggap saja ini kado perpisahan dariku.” Dia mengecup dahiku, lalu ia pergi menjauh…dan  aku tau, itulah terakhir kalinya aku  melihatnya.
Butuh beberapa menit agar aku bisa masuk ke kamar Nana, aku tak ingin dia melihatku ‘lemah’ seperti ini. Kubasuh muka, dan paksakan sebuah senyuman manis. Saat memasuki ruangan, Nana sepertinya tidak menyangka ada yang salah. Aku duduk di sofa.

“Semuanya baik-baik saja?”tanyanya.
“…kenapa kau bohong tentang kondisimu, kau bukan cuma kecapaian kan?”aku tanya balik.
 Nana terdiam namun akhirnya ia menjawab juga “Aku tadi kena serangan jantung,  aku juga tadi tidak sempat menepi dan  memarkir mobil, aku nabrak trotoar makanya bisa berhenti, aku tak ingin membuatmu khawatir dan merusak kembali kencanmu makanya aku bohong maaf.”
Aku duduk di samping ranjangnya. “yah..makasih udah mikirin kita, tapi  kau sudah tak harus khawatir bakal merusak kencanku lagi…Randi minta putus…jadi yah..”

Nana langsung beranjak dari kasurnya, namun aku menyuruhnya berbaring kembali.
“Kenapa?maksudku…kau benar-benar mencintainya”tanyanya heran.
Aku menaruh cincin pemberian Randi di atas punggung tangan Nana. Mata Nana melebar, dia melihatku dengan ekspresi simpatetik.
“Aku mencintainya, tapi dia tidak merasa begitu…dia tadi mau ngelamarku pas dessert tapi..”
“Mill‼maaf aku-”Nana mulai histeris. Aku berusaha mengeluarkan senyuman untuk menenangkannya.
“Kalau kita emang  jodoh seharusnya dia tetap mau melamarku sekarang, bukan salahmu  kok, tidak apa-apa semua baik-baik saja”aku berjalan menuju pintu.
“aku akan bawa Nessa ke sini, pasti dia kaget kalau besok kau tidak di ru-“
“Mill..”ia mencela, mata kita bertemu. “Apa kau yakin..kau baik-baik saja..?”
Pandanganku memburam, airmata menggumpal.

“Tidak…”
……malam itu,
Aku menangis semalaman di pelukannya.
**

Sang Penjaga (3)


Tadi pagi, aku sudah membayangkan apa yang terjadi saat orang tua ku pulang, berpelukan, ayah  menanyakan apa aku udah punya pacar, banjir oleh-oleh,dan hal standar lainnya. Sama sekali tak terbayangkan bahwa sekarang aku akan duduk di depan mereka di ruang tamu, dahi bercucuran keringat, kepala tunduk, dan tangan terus dikepal di atas paha.


“Jadi…kau hamil, Nana?”
Setelah sekian lama menjelaskan  situasi akhirnya ibu berbicara.
“Iya tante”-Nana terus mengalihkan pandangannya.
“Dan menurutmu….sayang, ia lebih baik tinggal di sini”ibu menatap lurus mataku.
“Ya, setidaknya sampai anaknya lahir. Anaknya tak bersalah kan?”
Sebelum Ibu menjawab, Nana mencela “Lagipula, aku bersedia kerja jadi pembantu kalau  tante dan Paman mau menerima mah!”

Ibu  menggeleng kepala “Tidak, kau tidak harus kerja”
“dan, saya tidak keberatan kalau  kau ingin  tinggal di sini” ucap Ayah, akhirnya mengeluarkan suara.
“Tante juga, kami tahu kau sudah sering membantu Milla, wajar kalau kita membalas budi. Lagipula di Amerika yang MBA banyak kok jadi, anak Pak Chris juga kan pah!”
“Ah iya..tau ga Milla, Nana…”
Dan dalam sekejap, suasana serius melebur menjadi canda tawa. Seraya mendengar kisah ayah, Nana menoleh ke arahku, tanpa suara kulihat bibirnya bergerak seolah berbisik “Terimakasih”.

5 Bulan kemudian.

Aku berjalan menyusuri kampus, sekarang aku sudah  masuk kuliah, Sekolah khusus seni Rendervous, aku ambil jurusan desain fashion…itulah alasannya aku ke sekolah pakai heels 10 cm. Prinsip jurusanku adalah yang paling high fashion, dialah yang paling dihormati. Makanya aku terus bersabar, menahan rasa terbakar yang mulai meluas di telapak kakiku.
“Milla!”. Menoleh ke belakang, kulihat seseorang melambaikan  tangan ke arahku.
“Ghina, ada apa?”
“gak aku hanya ingin berterimakasih”
“buat?”
“hehe itu, aku beli baju desain kamu dari internet, kemarin baru datang lewat kiriman paket kualitasnya baguuuus banget. Gradasi warna pinknya pas,!”
“oh ya? Wah makasih”  , sekitar satu bulan setelah Nana tinggal di rumahku aku dan Nana mulai bikin semacam bisnis baju bersama, aku yang ngedesain, Nana atau  kadang aku  yang ngejahit, syukur-syukur sekarang jadi booming.

Setelah basa-basi singkat, aku pulang ke rumah. Aku masih tingal bareng orang tua, sekalian jaga rumah. Nana  jarang  keluar, ia biasanya menjahit seharian dan mengurus pengiriman baju. Tadinya dia juga mau kuliah, cuman susah, gak ada yang menerima.
“Akhirnya datang juga! Di rumah kamu sepi serem tau!”Keluhnya, mencibir, tangan masih sibuk di atas mesin jahit. “Ya salah sendiri tinggal di rumah aku!” Dia semakin jengkel. Perutnya yang dulu kempes sekarang melendung bagai balon, terus sekarang udah mulai gemuk-baguslah daripada kayak tengkorak berjalan melulu.

“oh ya, omong-omong aku baca dari yahoo katanya pas janin umur 21 minggu lebih sebaiknya sang ibu ikut senam hamil”. Aku membanting tubuh di atas kasur, sekujur tubuh capek.
“terus kenapa?” gumamku, siap tidur.
“yah, kudengar dari  ibumu ada tempat kursus khusus senam  hamil dekat sini, tapi aku gak bisa ikut sendiri soalnya banyak dari gerakannya berpasangan, istri biasanya ama suaminya gitu.”
“Jadi?intinya apa?”mataku terpejam, santai.
“intinya..mau jadi suamiku?”
“Hah!?”aku terberanjak dari kasur. “Na! Aku cewek loh!?”
“Maksudku buat nemenin senam doang‼”
“ooh….(lega), habis pilihan katamu aneh”
“yah namanya juga bercanda, besok ya jam 10 aku udah ngedaftar, kamu besok libur kan?”
Aku menganggukkan kepala.
“ok, kalau gitu sok tidur lagi sana entar aku bangunin jam 6”
Suara mesin jahit mengantarku tidur
**
Ternyata tempat kursus ini populer juga. Entah berapa pasangan muda yang sedang mengantri di depan gedung tersebut, untung Nana booking duluan sehingga kita tinggal masuk ke salah satu  kelas yang ada saja. Kelasnya enak, lantai kayunya mengkilap dan jelas terurus. Cermin ditempel di seluruh dinding, dan terdapat dispenser, beserta gelas yang bersih, kamar mandi juga dekat dan  lengkap (ada showernya), benar-benar tempat kursus yang elit.

Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya datang, ia memakai spandex dan kaos gombrang. Dari mukanya dia terlihat seperti orang yang ramah. “baik semuanya, sebelum mulai senam, saya ingin memberi selamat kepada kalian semua atas berkah yang kalian terima, dan mendoakan agar kalian dapat melahirkan bayi yang sehat. Ayo mari tepuk tangan”ia bertepuk dengan keras, kemudian diiringi oleh semua yang ada di ruangan. Tiba-tiba ,ibu itu menoleh ke arah mata kami, ia tersenyum lebar. “wah sepertinya hari ini kita datangan pasangan  lesbi pula, selamat aku kagum pada keberanian kalian berdua.”

Lagi-lagi kita semua tepuk tangan. Sambil terus tepuk tangan tanpa henti, aku dan Nana berdua menoleh ke belakang penasaran siapa yang disebut pasanganv lesbi tersebut. Namun, setelah melihat tak ada apapun di belakang kita selain cermin, barulah aku sadar bahwa yang disebut pasangan lesbi itu kami.
“Tunggu!” baik aku dan Nana sama-sama protes. “anu..kami normal kok sama sekali bukan lesbi”
“iya itu benar” Nana ikut menegaskan. Dia hanya tertawa “sudahlah tak usah malu, sebenarnya udah ada kok yang lesbi di sini sebelumnya aku  udah kebiasa….Oh, tapi waktu  itu juga pernah ada pasangan suami istri…tapi suaminya terlihat seperti wanita soalnya tubuhnya dioperasi plastik, apa kalian juga sama seperti pasangan  tersebut?”

“Sama sekali tidak!”aku  menolak keras. “kenapa juga si ibu malah menafsirkannya ke situ?”pikirku sambil berusaha mendinginkan emosi.
“kami hanya teman,umm suamiku lagi dinas”ucap Nana dengan nada yang menyakinkan. Si ibu tua kemudian  minta maaf, dan mulai ngajar.Di luar dugaan pelajaran begini, menyenangkan juga baik aku dan Nana sama-sama belajar banyak. Kita juga jadi lebih kebayang dengan apa yang harus kita lakukan pas mau ngelahirin nanti, cara napas yang benar, cara ngehemat tenaga, pokoknya berguna sekali.
Keluar-keluar, tubuh terasa segar “suatu hari nanti pasti aku akan ke sini bareng suamiku”ucapku sambil meregangkan tangan. Nana ketawa “jangan jauh-jauh, pacar aja belum ada”

“berisik!” lagi-lagi ia merusak moodku. “ah, aku mau ke wc dulu ya kamu tunggu aja di depan”dia langsung cabut. Aku pun menuju pintu keluar,- BUK!.. Wajahku kepukul raket tennis. “ah maaf”ucap seorang pria yang sepertinya sebaya denganku. Pemegang raket tennis itu…yah aku gak akan bohong, badannya bagus-berotot. Mungkin sixpack, “kau tak apa-apa?”tanya kembali, menarik hati-hati poniku. Mukanya cakep, “Aku gak apa-apa” akhirnya aku  menjawab juga, memang aku sadar bahwa udah terlalu lama bengong. Dia terlihat lega, sambil menghela napas ia berkata “syukurlah, maaf ya tadi aku iseng mengayun-ayunkan raket sembarangan..kena muka tadi?”

“Iya gak apa-apa kok, um tapi kalau boleh nanya kenapa bawa-bawa raket ke sini?”
“oh,yah sebenarnya aku juga tadi gak niat ke sini, cuman tiba-tiba temanku yang kerja di sini bilang mau ikut ke lapangan tenis jadi…”
“Milla, aku udah ke wc pulang yuk”Tiba-tiba Nana datang, jujur aku merasa terganggu. “ah maaf…aku mengganggu ya”ucapnya, sadar juga. “gak apa-apa, kita juga baru bertemu  ya kan..umm”ucapku  sengaja ngumpan nama.

“Aditya Randika…panggil aja Randi, lalu namamu..Milla?”
“Kamilla, panggil aja Milla”kami bersalaman tangan. Lalu menatap wajah masing-masing untuk beberapa detik. “So…Milla?pulang?”Nana kembali merusak suasana. “iya..ayo”terpaksa, aku pun bilang iya dan mulai berjalan menuju pintu. Tiba-tiba,

“Milla”


Aku menoleh ke arah Randi yang terus mendekatiku “umm, aku baru saja memukul wajahmu dengan raket tennis umm…ah..u,..a..., biarkan aku mentraktirmu makan siang aku bisa batalkan permainan tennisku, yah tapi itu juga kalau kamu mau sih kalau gak aku..a…”sepertinya dia berbicara dengan spontan. Aku tertawa mendengar coletahannya“Jangan, hari ini aku gak bisa” Ia terlihat sedikit murung. Aku mengeluarkan  pulpen dan buku sketsaku, yang emang setiap hari kubawa-bisi dapat inspirasi yang bagus. Kurobek sebagian kecil dari kertasnya “tapi aku  bebas esok siang..ini nomor hp dan alamatku, telepon kapan saja kau bisa”ucapku sambil menaruh secarik kertas tersebut di tangannya. Ia tersenyum, berkata bahwa ia pasti akan mengkabariku, lalu aku dan Nana akhirnya masuk ke mobil dimana Nana berkomentar “genit dasar!”
Aku tertawa.

**

Kalau dulu SMA ada yang bilang kepadaku bahwa suatu hari nanti aku akan  masuk sekolah seni ternama bahkan dapat lulus sekolah tersebut  kurang dari 1 tahun, punya toko baju di rumah, pacar ganteng, teman hamil, dan mengurus fashion show sendiri…pasti aku tak akan percaya. Tapi, faktanya sekarang itulah yang terjadi…Nana sekarang hamil 8 bulan, sebulan lagi akhirnya kita dapat melihat bagaimana sebenaranya wajah anak Nana yang sampai sekarang belum dicek jenis kelaminnya apa. Yah, tapi emang gak ada waktu meriksa juga sih…sekarang aku sedang mengurus fashion show semacam  tugas akhir yang akan menentukan lulus atau tidaknya aku. Pacarku, Randi juga menghadirinya (ternyata dia 4 tahun lebih tua, dan sekarang bekerja sebagai fotografer). Aku melambai ke arahnya dari balik tirai panggung, dia memotretku.

“Mill!”-masalah kembali muncul. Sudah  aku pelajari bahwa fashion show mau sekecil atau sebesar apapun juga, pasti merepotkan…tapi tetap saja tidak kuduga bakal sekacau  ini. Model telat, baju harus dijahitkan di modelnya, bolak-balik cari perhiasan yang cocok dengan busana, hair-makeup. Rasanya kepalaku mau meledak. “Padahal ini baru persiapan…belum mulai”gumamku, sambil menjahit baju di  atas model (aku lupa bikin zipper di salah satu bajunya…bodoh).

“Nah sekarang mari kita sambut baju kreasi Kamilla Hurniawan‼”. Tiba-tiba MC berkata begitu dan dengan terpaksa aku langsung meneriaki model yang lain untuk langsung berbaris dan mulai berjalan di atas catwalk. Setelah satu model maju ke depan aku punya waktu 1,5 menit untuk mengganti pakaian model yang udah turun tersebut ke baju keduanya, sambil waspada jangan sampai ada pasangan baju yang tertukar apalagi pakaian yang tak cocok, it’s hell dude.

Teman-teman  yang bersedia jadi asistenku juga tak begitu banyak membantu, *drrt*, hpku bergetar. “Sial !”pikirku-stress. Kuraih hpku, sudah niat kutolak tapi masalahnya yang menelpon itu Nana. “kok aneh, tumben dia telepon padahal aku udah bilang hari ini bakal sibuk” pikirku sambil terus membantu mengganti pakaian salah satu  model. “Ghina‼ bisa tolong koordinir ini semua sebentar, aku ada telepon dari Nana bisi ada apa-apa!”. Ia menganggukan kepala dan mulai menggantikanku, di sudut ruangan kulihat guru menggelengkan kepalanya –emang, harusnya aku tidak melakukan itu saat sedang dieval begitu tapi sudahlah, aku punya perasaan tidak enak.

“Kenapa Nan?”aku teriak, musik di belakangku sangat keras. Yang terdengar hanyalah suara statis dan isakan-mungkin ia sedang nangis. “Nan!?”aku  mulai risau. “Bayinya….” Sedikit-sedikit suaranya mulai jelas.
“A…air ketubanku bocor‼bayinya entar lagi keluar”

Mulutku menganga, rahang hampir saja jatuh ke lantai. “Apa!? Harusnya kan bulan Juni, sebulan lagi‼”aku ikut panik. “Aku tak tahu, aku jatuh dari tangga dan-semuanya terjadi dengan begitu cepat Mill, pembantumu kan pulang kampung, aku telpon ambulans, 911, semua gak diangkat coba!?  cepat ke sini, kumohoon‼”-ia menjerit kesakitan. Gawat, aku tak mau dia terus menderita begini. “De-dengar Nan, umm terus nafas kayak yang waktu itu pas kursus senam, aku akan telepon tetangga meminta mereka untuk mengantarmu ke rumah sakit oke?!”

Secepat mungkin-aku telpon semua tetanggaku, juga rumah sakit terdekat- tak ada yang menjawab. “Brengsek‼”-dengan begitu aku berlari ke pintu keluar barat-terhalang, kiri-terhalang. Benar-benar tak ada exit kecuali lewat panggung depan yang sekarang penuh dengan model-modelku. “aku pasti bakal disuruh ngulang lagi sekolah kalau aku keluar dari situ..tapi…”

Masa bodo…

Aku sprint ke atas catwalk, mendorong semua modelku sampai jatuh ke arah penonton…dan sepertinya saat aku lompat dari panggung kecil  itu, aku tak sengaja menendang  muka dosenku  yang kebetulan sedang nonton di bangku  paling depan, dengan hak 10 cm ku…Yap, aku pasti bakal disuruh mengulang, atau mungkin juga dikeluarkan  hmmm…

Akhirnya dengan susah payah aku  sampai di parkir depan , tangan bergemetaran, kunci mobil susah sekali dimasukkan  ke lubangnya. “Mill!”kulihat Randi berlari kencang ke arahku, sambil terus memikul kameranya. Ia terlihat kehabisan napas “Mil, ada apa!?”
“itu, Nana melahirkan-tak ada orang di rumah dan ambulans gak bisa ditelpon pokoknya dia butuh aku deh!”aku akhirnya dapat membuka pintunya. “Kalau begitu kenapa tadi kamu gak sms aku aja, suruh antar dia  ke rumah sakit…aku bawa mobil loh!”

Aku bengong sejenak-“benar juga ya?”pikirku, sedikit tertegun mengapa tak terpikirkan sebelmunya.
“Benar juga sih,kenapa gak bilang dari tadi!?”...itu pertanyaan bodoh.
“Ya aku kan gak ta..”
“Ah sudahlah, kamu malah menunda waktu…nanti kutelpon-hush minggir!”
Kesal, dan merasa bego aku menyetir kencang mobil mini cooperku menuju rumah, Nana sudah  merintih kesakitan di lantai napasnya berantakan…aku berusaha menggotongnya berdiri, kemudian sampailah kita di rumah sakit. Kalau adrenalin sedang memuncak-sepertinya apapun yang dilakukan, dilakukan dengan sangat cepat bahkan seperti hanya berlalu satu detik saja. Masuk rumah sakit, mencari dokter yang nganggur, membantu Nana melahirkan (entah sudah berapa kali aku berkata “Dorong! Dorong!”), pingsan setelah melihat kepala bayi mulai keluar...     

Semua terjadi begitu cepat sampai-sampai semua menjadi samar-samar saja.
….
Hanya satu kejadian yang benar-benar kuingat dengan jelas….yaitu tangisan seorang bayi kecil yang baru  pertama kali keluar ke dunia ini, dan juga aku akan selalu ingat ekspresi wajah seorang ibu saat pertama kali melihat anaknya. “Nana….”ucapku dengan suara pelan, terus mendekati bayi yang ada di dekapan  tangannya. “udah puas pingsannya?”ia berkata begitu dengan mata sembab… sambil terus menatapi bayi perempuan mungil tersebut. Aku menganggukan kepala, jari kelingking Nana terus dipegang anaknya. “Sayang lihat, kalau bukan karena orang ini…kamu gak akan lahir loh!” ia menunjuk ke arahku. Aku hanya tersenyum, dan mungkin hanya perasaanku saja, tapi sepertinya bayi itu membalas senyumanku juga.

**