Rabu, 19 Desember 2012

Psycho...tugas kreatif b.indo


Psycho
5 jam yang lalu…..
“Haaah…” kulihat nafasku berembun seraya aku mendesah. Embun tersebut melekat pada kaca mobil yang entah sudah berapa lama kupandang. Segera aku mengayunkan jari, menghapus sebagian dari  embun yang menghalangi pandangan tersebut. “C-A-R-M-E-L-I-A!”, terdengar suara lembut nan merdu menyahutku. 

Aku mendongak ke belakang, menatap langsung pemilik dari suara yang sangat kusayangi tersebut. Seorang laki-laki paruh baya dengan rambut pirang perndek yang disisir rapih ke belakang telinga, hidung mancung yang berlubang beeesaaaar!! Dan mata sayu dengan warna abu tua yang serasi dengan sweater turtle neck bergarisnya. Ya! lelaki yang dahi dan tepi matanya sudah penuh dengan keriput ini adalah ayahku.

“Carmelia, kau tadi akan mengeja namamu bukan?” tanyanya dengan senyuman lebar, menampilkan giginya yang putih. Putihnya hampir seputih selimut salju yang menumpuk di pinggir jalan. “sok tahu!” jawabku dengan nada yang manja, seraya menghapus seluruh sisa embun tersebut . Senyum ayahku melebar. “Tahu dong, kau kan putri kecilku” tangan kirinya mulai mengacak-acak rambutku, sementara tangan kanannya tetap menempel pada setir mobil. “Ayah, hentikan! Matanya lihat ke depan, nanti tabrakan loh!”ujarku sambil mencoba menjauhkan tangannya yang besar itu dari rambutku. “Huuh… padahal baru saja kusisir” pikirku, sambil merapihkan kembali rambut coklatku yang hanya sebahu itu. Sudah 3 bulan tapi belum memanjang 1 cm pun. Seharusnya kupotong sepunggung, aku tidak cocok dengan rambut pendek.

Ayah diam-diam melirikku “Kau terlihat cantik” ujarnya dengan tiba-tiba, mencoba membuatku lebih percaya diri terhadap penamplanku. Ia memang bisa mengerti aku dengan baik, bahkan rasanya seakan dia bisa membaca pikiranku. Aku selalu menyukai hal itu darinya. Anak-anak sekelasku sering mengeluh tentang ayah masing-masing. Menurut mereka, ayah mereka sama sekali tak mengerti mereka dan tidak bisa diajak ngobrol. Tapi ayahku tidak begitu, dia selalu menanyakan kabarku di sekolah, mengajak bermain, dan memanjakanku. Aku mungkin tak punya ibu, atau kakak adik tapi aku tetap mersa beruntung memiliki ayah sepertinya.

Mobil jeep hitam kita pun akhirnya berhenti. “Kami disini”, aku segera membuka pintu dan melompat keluar.  Meskipun memakai sepatu boots, kakiku tetap terasa dingin saat menapak salju. Setiap mengeluarkan napas, napasku berembun, menghalangi pandanganku. Tapi aku tetap saja terpukau oleh pemandangan yang mengelilingiku.

Lampu-lampu dengan berbagai warna bergantungan di mana-mana, dilitkan dari satu pohon ke pohon yang lain. Ada juga yang dililitkan pada tubuh seorang anak kecil, sehingga ia hanya bisa diam pasrah sementara teman-temannya terus mengitarinya, semakin memperbanyak ikatan lampu yang mengekang tubuhnya. Hihi…aku tertawa melihatnya.

Ada juga yang membuat boneka salju, malaikat salju, dan bahkan ada yang berhasil membuat igloo. Aku ingin memasukinya. Tapi yang paling mempesonaku adalah danau luas yang kini telah membeku itu. Danau Torres, danau terbesar di negeriku. Setiap musim dingin, pasti dijadikan tempat ice skating, juga sebagai tempat untuk  acara tahunan Winter Festival…acara yang kebetulan memiliki tanggal yang sama dengan tanggal ulang tahunku. Di Festival tersebut ada lomba mengukir es, lomba makan pie, dan pertunjukkan kembang api. Ada juga stand-stand makanan, minuman dan permainan berhadiah.

Ayahku menggapai tanganku dan bertanya “Jadi, apa yang pertama ingin kau lakukan?”
Ice skating!” jawabku riang.
“Oke! Tunggu di situ dekat stand gulali ok?ayah akan menyewa sepatunya dulu” ia memeriksa dompetnya sejenak, menghitung jumlahnya dengan teliti.
Aku menangguk, “ok, tapi aku boleh beli gulali dan memainkan permainan berhadiah sambil menunggu  kan?”

Dahi ayahku mengkerut mendengar permintaanku. Keadaan ekonomi kita…yah…bisa dibilang kurang baik. Kita tak miskin tapi kita tak begitu makmur juga. Bisa dibilang kita pas-pasan, tapi aku tak keberatan dengan itu. Ayahku bekerja 13 jam perhari, 6 hari dalam seminggu untuk menghidupi kehidupan kita berdua, dan aku sangat mensyukuri itu.

Dengan ragu, ia menyerahkan 15 dolar. Itu cukup untuk sebuah gulali dan kira-kira 2 kali coba dalam permainan berhadiah. Aku senang menerimanya, ada boneka beruang yang kulihat terpajang manis di stand permainan tembak-tembakan, tepat di samping kiri penjual gulali. Mungkin sedikit keanak-anakan untuk anak yang berumur 10 tahun sepertiku, tapi aku pengeloksi beruang yang setia, dan beruang kutub berdasi pita itu akan terlihat sangat manis bersama koleksiku yang lainnya.

Aku berlari menuju stand permainan tersebut. “Hati-hati!” seru ayahku, sambil menuju arah yang berlawanan. Seorang laki-laki muda berambut hitam acak-acakan, dan bibir ditindik menjaga stand tersebut, badannya terlihat kurus meskipun dibalut berapa lapis baju yang tebal.

“5 dolar, 1 kali coba gadis kecil” ucap lelaki berkumis tersembut sambil menghisap dalam-dalam batang rokoknya. 5 dolar, 1 kali coba, pelit sekali laki-laki ini. Aku mencoba membujuk diri untuk berpindah ke permainan yang lain, tapi melihat mata mengkilat beruang tersebut aku hampir meneteskan air liur. Dengan berat hati aku menyerahkan uangnya, dan ia pun memberiku pistol dart beserta isinya, aku harus mengisinya secara manual. “lihat, alien-alien kecil dengan tanda x itu? Mereka akan berbunyi ketika kau mengenainya. Mereka akan bergerak setelah aku menekan tombol. Siap?mulai!”

“Tu-tunggu!!” alien-alien bergagang kayu itu pun mulai bergerak dengan kecepatan luar biasa. Aku bahkan belum mengisi pistol mainan. Aku mulai panic, dan fokusku hilang. Saat aku akhirnya siap menembak, aku meleset….jauh…mengenai beruang yang aku inginkan. Yah, mungkin itu menunjukkan sebagaimana besar aku menginginkannya.

Penjaga stand tersebut tertawa, “wah kau payah sekali gadis kecil!”. Komentarnya itu membuat pipiku memanas. “2 kali lagi”
“10 dolar” ia meniupkan asap rokoknya ke mukaku. Orang ini benar-benar menjengkelkan. “7 dolar!” tawarku, dengan suara lantang. Pria tersebut tersebut “ok, 7 dollar…tapi beberapa kalipun kau mencoba aku ragu kau akan memenangkan apapun, gadis cilik”
Aku cemberut mendengar ledekannya, tapi aku tetap menyerahkannya uangnya tanpa banyak berkomentar. “mulai!”

Lagi-lagi, gambar-gambar alien yang terbang dengan arah tidak jelas itu pun luput dari termbakanku. Aku menarik napas dan mencoba lagi tapi sama saja hasilnya. Aku tak mendapatkan apa yang kumau.
Mesin yang menggerakan alien hijau kecil itu pun dihentikan, dan aku benar-benar kesal melihat wajah sombong di wajah lelaki tersebut. “Setidaknya kau berusaha anak kecil!”ujarnya, lagi-lagi menghisap dalam-dalam sisa dari rokoknya tersebut.
“1 kali lagi, 3 dolar! Kumohon!”pintaku sambil menjinjit--jinjit menarik perhatian sang penjaga stand. “tak bisa gadis kecil…tak ada diskon lagi!”jawabnya, sambil menggelengkan kepala. “kumohhoooon!” pintaku lagi.

“Ada apa Lia?” Tanya ayahku seraya berjalan menghampiriku melewati kerumunan orang yang semakin bertambah, ia memegang kedua pasang sepatu Ice Skating di tangan kirinya. Satu pasang untukku dan satu pasang untuknya.
“Ayah! Aku benar-benar menginginkan beruang kutub itu. Ayah bisa memenangkannya untukku tidak?Pleaaaassseee!” 

  Ayahku melirik ke permainan yang di depannya, tanpa ragu dapat kulihat bahwa ia tidak percaya diri bisa melakukannnya. Ayahku bukan orang yang pandai dalam permainan, dia bisa main kartu atau monopoli. Tapi kalau urusan olahraga atau membidik seperti sekarang, dia luar biasa payah. Mungkin itu genetis di keluargaku.
“umm….aku tak begitu pandai dalam hal seperti ini akung"jawabnya dengan ragu. “tapi ayah….aku benar-benar menginginkannya. Anggap saja sebagai hadiah ulang tahun”
“Benar, ayah belum membelimu kado tapi…”

“Kalau mau, aku dapat memenangkannya untukmu!” sela seorang wanita cantik bermata hijau dengan rambut lurus sebahu berwarna coklat, entah sejak kapan berdiri di belakang kita. Ia mengenakan kostum boneka salju yang panjangnya selutut, sepatu putih yang membulat dan dandanan yang sangat tebal. Matanya dihiasi glitter biru yang mencolok, dan bibirnya pun diwarna biru yang menyala. 

“Maaf, aku tak sengaja mendengar dilema kecil kalian. Kalau kalian mau aku bisa memenangkan hadiah itu dengan mudah untuk kalian”ujar wanita yang kira-kira berumur 30 tahun itu. “Mau!” responku dengan cepat. Sementara ayahku memicingkan mata, “maaf tapi, syaratnya apa ya?” tanyanya dengan malu-malu.
“Hehe…apakah kau menduga aku segitu jahatnya? Aku tak akan menipu seorang gadis kecil, apalagi di hari ulang tahunnya.”jawabnya dengan riang, walau terlihat sedikit terhina.
“Ah! Bukan itu maksudku..ta..tapi”

“Haha! Tenang saja pak. Aku tak tersinggung. Oh dan kau benar, aku memang ingin ganjaran atas jasa kecilku ini, tapi bukan ganjaran uang atau semacamnya!” ia mengeluarkan formulir dan pulpen dari kantung kostumnya. 

“Kalau aku memenangkan beruang itu, bisakah bapak mengisi formulir ini? Ini survey mengenai perusahaan boneka dimana aku kerja, ‘Jack Frost.inc’. Bisa dibilang perusahaan ini baru dan  kita butuh masukan terhadap produk kita, lihat stand dengan boneka manusia salju yang di seberang itu, itu stand kita. Seperti yang bapak bisa lihat, bonekanya tidak terlalu laku dan bos aku berpikir itu karena kualitasnya, jadi dia menyuruh aku dan beberapa orang melakukan survey kusioner dan yah begitulah…tak begitu banyak orang ingin mengisinya saat menikmati festival, sementara aku benar-benar ingin keluar dari kostum ini dan pulang ke anakku yang masih kecil jadi….”

“Kau ingin aku mengisi kuisionermu agar kau bisa cepat pulang, aku mengerti. Tapi aku sama sekali tak tahu apapun tentang produk perusahanmu”

“Itu tak apa-apa, silahkan mengarang saja, tapi tolong jangan lupa tulis nama, alamat, kode pos dan nomor teleponmu. Jangan alamat atau nomor palsu ya,  nanti bos aku akan mengira aku yang mengisi sendiri kuisionernya.” Ia mendesah dan mengggerutu, sepertinya ia benar-benar tidak menyukai pekerjaannya.

“Ok, aku setuju” jawab ayahku sambil mengambil pulpen dan formulir dari wanitu muda tersebut.
“bagus!” wanita tersebut dengan penuh percaya diri menghampiri penjaga stand yang bertindik tersebut. Ia menaruh 5 dollar di atas meja stand tersebut, dan memasukkan dart ke dalam pistol mainan tersebut. Lelaki yang sepertinya perokok berat itu pun menyalakan kembali rokok yang baru dan menekan tombol  merah di samping kanannya“siap, mulai!”

Mesin itu pun mulai beraksi lagi. Aliennya  bertanda merah x itu  pun mulai bergerak kesana-kemari. “perhatikan aku baik-baik ya, nak” ucap wanita tersebut, sambil mengedipkan mata ke arahku. Aku pun mengalihkan focus ke arahnya. *DOR* dengan satu tembakan, dart tersebut mengenai salah satu dari alien yang gesit itu. Aku dan ayah tepuk tangan atas keahliannya.

“Hebat!”seruku, terpukau. Penjaga stand terlihat sedikit kesal dengan kemenangan wanita tersebut, tapi meskipun begitu ia tetap menyerahkan boneka yang aku inginkan padanya, dan kembali menikmati kehangatan rokoknya.

“Tolong is formulirnya ya!”ucap wanita itu seraya menatap ayahku yang masih semangat menepuk tangan tanpa henti. “ah, ya!” ia pun mencoba mengisi formulir tersebut dengan tangan kirinya sebagai alas, sementara wanita itu dengan senyuman lebar menyerahkan boneka beruang kutub ke pelukanku.
“terimakasih!”ucapku, sambil mengelus bulu halus dari bahan yang membuat boneka tersebut.
“Sama-sama”, wanita itu mendadak diam. Ia melihat jam tangannya dengan resah, mungkin tak sabar ingin pulang. Kemudian tiba-tiba ia bertanya,“Umurmu berapa?”

“Hari ini aku menjadi 10 tahun”
“Benarkah? Wahh...kau sudah besar. Tante jadi penasaran bagaimana anakku saat seumuran kamu nanti.”Ia mulai mengusap rambutku. Tangannya besar untuk ukuran seorang perempuan.
“Emang umur anak tante berapa?” tanyaku penasaran.
“ 1 tahun…huh, aku ibu yang buruk meninggalkannya sendirian di rumah, padaha ia masih semuda itu” ia mendesah lagi, kali ini dengan nada yang pilu. Air mata berlinangan di matanya, aku sedikit kaget melihat sifatnya berubah. Ia pasti khawatir dengan keadaan anaknya.

“Kurasa….anak tante beruntung mempunyai ibu jago menembak seperti tante”ucapku dengan spontan. Wanita itu mulai tersenyum kembali. “Kau mencoba menghiburku?...terimakasih”
“apakah ini benar?” ayahku mengembalikan formulir dan pulpen wanita tersebut. Dengan seksama wanita kurus berambut coklat itu membaca isisan ayahku.

“Kau tinggal di Oakwood, di ibu kota? Itu cukup jauh dari sini.”komentarnya setelah melihat seluruh bagian formulir tersebut.

“Ya memang, tapi hari ini ulang tahun anakku. Apapun yang dia mau akan kuturuti” Ayah memegang bahuku dan menarikku mendekatinya, badannya terasa hangat.

Wanita itu kembali melihat jam tangan bertali merahnya, “Kalau begitu aku berterimakasih atas kerja sama anda bapak Charles. Terimakasih juga ummm..” ia melirik ke arahku menunggu jawaban.
“Carmelia”jawabku singkat.

“Charles dan Carmelia,nama yang serasi sekali!” pujinya sambil mengambil tisu dari kantongnya dan dengan semangat menghapus sisa make up di mukanya. “Terimakasih ya kalian berdua. Selamat menikmati festival, sampai jumpa!” wanita itu berlari begitu cepat.

“Sampai jumpa!” aku dan ayahku membalas dengan serentak sambil melambai-lambaikan tangan.
well…ayo ice skating” ajak ayahku sambil mengambil boneka baruku dan memberiku sepasang sepatu ice skating. Aku segera memakainya dan mulai meluncur. Ayah tak lama kemudian pun mengikuti, aku mengelilingi danau yang beku itu, entah beberapa kali. Berbagai orang berlalu lalang, dan bersenang-senang. Hal yang wajar mengingat jumlah orang yang menghuni Tredony. Tredony bukan negeri yang besar, hanya sekitar 628 km2 sedikit lebih besar daripada negeri Andorra, tapi meskipun begitu penduduknya cukup banyak.Tredony dipimpin oleh seorang Raja. Kekuasaan Raja akan diturunkan lewat garis keturunan, selama 5 tahun ini Tredony dipimpin oleh Raja Albert Dreadry, dia raja yang baik.

Syukurlah, karena kehendak raja itu absolute di negeri ini. Apapun yang raja inginkan ia dapatkan, ayah sepertinya tidak suka fakta itu. Ia selalu beranggapan kalau system pemerintahan seperti itu akan memunculkan sifat dictator, tapi raja kita baik, istrinya sang Ratu Ferilin juga sama. Tak jarang mereka melakukan kunjungan ke yatim piatu, dan mengayomi orang miskin. Sekolah 12 tahun juga gratis . Secara Keseluruhan aku sangat menyukai tinggal di Tredony,dan lebih tepatnya lagi  Oakwood, ibu kota Tredony.

Tredony terdiri dari 7 kota, Oakwood merupakan kota terluas dan termodern diantara mereka semua, penuh dengan gedung-gedung pencakar langit, perusahaan-perusahaan global dan toko-toko barang bermerk. Ayahku pegawai di perusahaan perbaikan computer kecil disana, dia mencintai pekerjaannya tapi badannya yang sudah berumur sayangnya tidak bisa mengikuti semangatnya.

Ayah tiba-tiba menarikku dan memutarkanku beberapa kali. Aku jongkok dan meluncur melewati kedua kakinya yang terbuka lebar. “Aduh!”, aku tak sengaja membuat ayahku tersandung. Mukanya menabrak es yang keras dan dingin. Hidungnya yang mancung menjadi merah menyala. “Ayah!!maaf, gak apa-apa?” tanyaku cemas. “Ayah baik-baik saja”

DUARR!! DUARR!! Suara menggelegar dan kilatan cahaya mengagetkanku, aku melirik keatas dan melihatnya, biru, merah, hijau, kuning, berbagai warna menari-nari di kain hitam bernama langit malam hari. Warnanya terang nan menyilaukan, suaranya keras membuat hati berdebar-debar. “Waaaahhh!” aku hanya bisa mengadahkan kepala ke langit yang begitu indah. Semuanya begitu menakjubkan, pandanganku tak bisa teralihkan darinya. Ledakan warna yang sambung menyambung, rasa hangat yang menggelitik tubuh, semuanya terasa begitu ajaib!!

“Happy Birthday!” bisik ayahku. Ia menutup mulutku yang tanpa sadar kubiarkan menganga entah seberapa lama. Ia masih duduk manis di es yang dinginnya menusuk itu. Ia tersenyum, senyuman lebar yang menampilkan giginya yang putih dan membuat keriput di sisi bibirnya berlipat ganda. Dengan tangannya yang besar, ia menarikku ke pelukannya. Aku pun duduk di pangkuannya, tangannya membalutku bagaikan selimut wool yang tebal. Aku membalas senyumannya dengan senyuman yang tak kalah lebar. “Aku sayang ayah”bisikku lembut. “Aku sayang kamu juga”

Aku senang. Sangat senang!
Aku ingin hari ini tak berakhir!
…..
…..
…..
…setidaknya awalnya aku berpikir seperti itu.

“DOR!!DORR!!”

Suara menggelegar dan kilatan cahaya kembali mengagetkanku. Itulah sambutan yang kudapatkan setelah melewati daun pintu rumahku yang hanya terdiri dari 1 lantai dan 5 ruangan itu. Sambutan yang suaranya hampir sama persis dengan suara kembang api. Tarian kembang api yang indah, menawan, memukau…sebuah tarian yang tak terlupakan. Namun ini bukan kembang api, bukan tarian ledakan cahaya berwarna yang indah, bukan api hangat yang menenangkan jiwa, bukan kenangan indah yang ingin kukenang seumur hidup sampai mati nanti. Ini…ini adalah mimpi buruk!!

Wanita cantik yang 5 jam yang lalu kuanggap bagai dewi penyelamat, sekarang bagaikan malaikat pencabut nyawa, entah kapan ia menyusupi rumah kita, entah berapa lama ia menanti kedatangan kita.Yang pasti, saat kita membuka pintu, ia tak menyiakan waktu untuk bertindak.

 Warna merah kembali memukauku, tapi ini bukan lagi merah menyala dari petasan-petasan indah yang menghiasi langit malam. Melainkan warna merah yang menodai warna abu dari baju lelaki yang dengan bangga kupanggil “ayah”.
“Ayah!Ayah!!”aku menjerit, badannya yang biasanya begitu kuat dan kokoh sekarang tergeletak lemas di lantai kayu yang dingin. “lari Carmelia!”

“Tak usah repot-repot!”sela wanita yang tak lama yang lalu memakai lipstick dan glitter biru. Sekarang wajahnya bersih dari segala alat pewarna, matanya yang tak lama yang lalu begitu bercahaya dan penuh hidup, sekarang hitam kosong bagai lubang tak berdasar. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat saat gigitannya dilepas, bibirnya akan bergemetar hampir sekencang getaran tangan kanannya yang memegang pistol warna hitam sehitam malam tak berbintang dan berbulan itu.

“lari, dan akan kubunuh ayahmu mengerti!?” –DOR!! Kali ini pelurunya menembus lutut kanan ayahku, jeritan rasa sakitnya tercampur aduk dengan teriakan rasa takutku. “Hentikan!!Hentikann!!” jeritku berulang-ulang, terus melekat pada kain abu yang melekat pada badan ayahku itu. Aku tak akan lari, aku terlalu takut. Takut dengan apa yang akan wanita itu lakukan pada satu-satunya orang yang kuanggap sebagai keluarga itu.

“Kenapa, kau melakukan ini?” gumam ayahku, disela-sela rintihan sakitnya. Wanita itu diam sejenak, mulut pistol tetap menatap lurus dahi ayahku. “Karena aku tak punya pilihan yang lain”
Ia berjalan cepat ke sisi ayahku. Tangannya menggenggam pergelangan tangan kiriku, namun aku hanya terus terisak-isak menguburkan kepala pada dada ayah yang mulai basah tercemar darah yang tak berhenti mengalir. Wanita itu menaruh kain di atas perut ayahku, tepat di atas luka tembakan. Ia membisikkan sesuatu pada telinga ayahku. Suaranya pelan dan bergemetar, namun aku dapat mendengar jelas semua perkataannya.

“Jangan mati! Jangan mati!!”berkali-kali  ia menekankan kata tersebut.
“ Jika kau ingin bertemu dengan anakmu lagi, jangan mati. Mati dan semuanya gagal mengerti?” air mata mulai menggenang di pinggir matanya.

“Di dalam kain ini ada kertas, ikuti semua perintahnya dan anakmu selamat. Melapor pada polisi dan anakmu mati.” Ia berdiri, tak lagi berjongkok di samping ayahku. Tangannya yang terbalut kaus tangan kulit itu mencengkram pergelangan tanganku dengan begitu kuat. Ia melingkarkan kedua lengannya di pinggangku, menarikku dari sisi ayahku yang terluka dan berdarah itu. “AYAAHH!!AYAAHH!!” aku hanya bisa berteriak berharap semua ini hanya mimpi buruk. “CARMELIIAAAA!!!” aku melihat ayahku merangkak, mengerahkan tenanganya untuk menarik tubuhnya yang lepas itu keluar ruangan menuju salju. Namun bagaimanapun juga ia tak bisa mengejar.

“Maafkan aku” ucap wanita tersebut sebelum sebuah kain basah dan lembab menutupi mulut dan hidungku, baunya aneh…memabukkan… Air mata wanita bercucuran, membasahi wajahku. Ya, air matanya begitu deras, bagai hujan yang tak kunjung berhenti, bersatu dengan air mataku yang juga tak mau berhenti. Pandanganku memburam….memburam….memburam………lalu semua gelap….gelap gulita.
…bersambung  


2 komentar:

  1. aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah gaasik nih bersambunggg :(((

    cerpenn2 nya baguss2 banget lohh coba dibukuin dong kakkk ;))hehe

    BalasHapus