Psycho
5 jam yang lalu…..
“Haaah…” kulihat
nafasku berembun seraya aku mendesah. Embun tersebut melekat pada kaca mobil
yang entah sudah berapa lama kupandang. Segera aku mengayunkan jari, menghapus sebagian dari embun yang menghalangi pandangan tersebut.
“C-A-R-M-E-L-I-A!”, terdengar suara lembut nan merdu menyahutku.
Aku mendongak
ke belakang, menatap langsung pemilik dari suara yang sangat kusayangi
tersebut. Seorang laki-laki paruh baya dengan rambut pirang perndek yang
disisir rapih ke belakang telinga, hidung mancung yang berlubang beeesaaaar!!
Dan mata sayu dengan warna abu tua yang serasi dengan sweater turtle neck
bergarisnya. Ya! lelaki yang dahi dan tepi matanya sudah penuh dengan keriput
ini adalah ayahku.
“Carmelia, kau tadi akan mengeja namamu bukan?” tanyanya
dengan senyuman lebar, menampilkan giginya yang putih. Putihnya hampir seputih
selimut salju yang menumpuk di pinggir jalan. “sok tahu!” jawabku dengan nada
yang manja, seraya menghapus seluruh sisa embun tersebut . Senyum ayahku
melebar. “Tahu dong, kau kan putri kecilku” tangan kirinya mulai mengacak-acak
rambutku, sementara tangan kanannya tetap menempel pada setir mobil. “Ayah,
hentikan! Matanya lihat ke depan, nanti tabrakan loh!”ujarku sambil mencoba
menjauhkan tangannya yang besar itu dari rambutku. “Huuh… padahal baru saja kusisir” pikirku, sambil merapihkan kembali
rambut coklatku yang hanya sebahu itu. Sudah 3 bulan tapi belum memanjang 1 cm
pun. Seharusnya kupotong sepunggung, aku tidak cocok dengan rambut pendek.
Ayah diam-diam melirikku “Kau terlihat cantik” ujarnya
dengan tiba-tiba, mencoba membuatku lebih percaya diri terhadap penamplanku. Ia
memang bisa mengerti aku dengan baik, bahkan rasanya seakan dia bisa membaca
pikiranku. Aku selalu menyukai hal itu darinya. Anak-anak sekelasku sering
mengeluh tentang ayah masing-masing. Menurut mereka, ayah mereka sama sekali
tak mengerti mereka dan tidak bisa diajak ngobrol. Tapi ayahku tidak begitu,
dia selalu menanyakan kabarku di sekolah, mengajak bermain, dan memanjakanku.
Aku mungkin tak punya ibu, atau kakak adik tapi aku tetap mersa beruntung
memiliki ayah sepertinya.
Mobil jeep hitam kita pun akhirnya berhenti. “Kami disini”,
aku segera membuka pintu dan melompat keluar.
Meskipun memakai sepatu boots, kakiku tetap terasa dingin saat menapak
salju. Setiap mengeluarkan napas, napasku berembun, menghalangi pandanganku. Tapi
aku tetap saja terpukau oleh pemandangan yang mengelilingiku.
Lampu-lampu dengan berbagai warna bergantungan di mana-mana,
dilitkan dari satu pohon ke pohon yang lain. Ada juga yang dililitkan pada
tubuh seorang anak kecil, sehingga ia hanya bisa diam pasrah sementara teman-temannya
terus mengitarinya, semakin memperbanyak ikatan lampu yang mengekang tubuhnya. Hihi…aku
tertawa melihatnya.
Ada juga yang membuat boneka salju, malaikat salju, dan
bahkan ada yang berhasil membuat igloo.
Aku ingin memasukinya. Tapi yang paling mempesonaku adalah danau luas yang kini
telah membeku itu. Danau Torres, danau terbesar di negeriku. Setiap musim dingin,
pasti dijadikan tempat ice skating,
juga sebagai tempat untuk acara tahunan
Winter Festival…acara yang kebetulan memiliki tanggal yang sama dengan tanggal
ulang tahunku. Di Festival tersebut ada lomba mengukir es, lomba makan pie, dan
pertunjukkan kembang api. Ada juga stand-stand makanan, minuman dan permainan
berhadiah.
Ayahku menggapai tanganku dan bertanya “Jadi, apa yang
pertama ingin kau lakukan?”
“Ice skating!” jawabku
riang.
“Oke! Tunggu di situ dekat stand gulali ok?ayah akan menyewa
sepatunya dulu” ia memeriksa dompetnya sejenak, menghitung jumlahnya dengan
teliti.
Aku menangguk, “ok, tapi aku boleh beli gulali dan memainkan
permainan berhadiah sambil menunggu
kan?”
Dahi ayahku mengkerut mendengar permintaanku. Keadaan
ekonomi kita…yah…bisa dibilang kurang baik. Kita tak miskin tapi kita tak
begitu makmur juga. Bisa dibilang kita pas-pasan, tapi aku tak keberatan dengan
itu. Ayahku bekerja 13 jam perhari, 6 hari dalam seminggu untuk menghidupi
kehidupan kita berdua, dan aku sangat mensyukuri itu.
Dengan ragu, ia menyerahkan 15 dolar. Itu cukup untuk sebuah
gulali dan kira-kira 2 kali coba dalam permainan berhadiah. Aku senang menerimanya,
ada boneka beruang yang kulihat terpajang manis di stand permainan
tembak-tembakan, tepat di samping kiri penjual gulali. Mungkin sedikit
keanak-anakan untuk anak yang berumur 10 tahun sepertiku, tapi aku pengeloksi
beruang yang setia, dan beruang kutub berdasi pita itu akan terlihat sangat
manis bersama koleksiku yang lainnya.
Aku berlari menuju stand permainan tersebut. “Hati-hati!”
seru ayahku, sambil menuju arah yang berlawanan. Seorang laki-laki muda
berambut hitam acak-acakan, dan bibir ditindik menjaga stand tersebut, badannya
terlihat kurus meskipun dibalut berapa lapis baju yang tebal.
“5 dolar, 1 kali coba gadis kecil” ucap lelaki berkumis
tersembut sambil menghisap dalam-dalam batang rokoknya. 5 dolar, 1 kali coba,
pelit sekali laki-laki ini. Aku mencoba membujuk diri untuk berpindah ke
permainan yang lain, tapi melihat mata mengkilat beruang tersebut aku hampir
meneteskan air liur. Dengan berat hati aku menyerahkan uangnya, dan ia pun
memberiku pistol dart beserta isinya, aku harus mengisinya secara manual.
“lihat, alien-alien kecil dengan tanda x itu? Mereka akan berbunyi ketika kau
mengenainya. Mereka akan bergerak setelah aku menekan tombol. Siap?mulai!”
“Tu-tunggu!!” alien-alien bergagang kayu itu pun mulai
bergerak dengan kecepatan luar biasa. Aku bahkan belum mengisi pistol mainan.
Aku mulai panic, dan fokusku hilang. Saat aku akhirnya siap menembak, aku
meleset….jauh…mengenai beruang yang aku inginkan. Yah, mungkin itu menunjukkan
sebagaimana besar aku menginginkannya.
Penjaga stand tersebut
tertawa, “wah kau payah sekali gadis kecil!”. Komentarnya itu membuat pipiku
memanas. “2 kali lagi”
“10 dolar” ia meniupkan asap rokoknya ke mukaku. Orang ini
benar-benar menjengkelkan. “7 dolar!” tawarku, dengan suara lantang. Pria
tersebut tersebut “ok, 7 dollar…tapi beberapa kalipun kau mencoba aku ragu kau
akan memenangkan apapun, gadis cilik”
Aku cemberut mendengar ledekannya, tapi aku tetap
menyerahkannya uangnya tanpa banyak berkomentar. “mulai!”
Lagi-lagi, gambar-gambar alien yang terbang dengan arah
tidak jelas itu pun luput dari termbakanku. Aku menarik napas dan mencoba lagi
tapi sama saja hasilnya. Aku tak mendapatkan apa yang kumau.
Mesin yang menggerakan alien hijau kecil itu pun dihentikan,
dan aku benar-benar kesal melihat wajah sombong di wajah lelaki tersebut.
“Setidaknya kau berusaha anak kecil!”ujarnya, lagi-lagi menghisap dalam-dalam
sisa dari rokoknya tersebut.
“1 kali lagi, 3 dolar! Kumohon!”pintaku sambil
menjinjit--jinjit menarik perhatian sang penjaga stand. “tak bisa gadis
kecil…tak ada diskon lagi!”jawabnya, sambil menggelengkan kepala.
“kumohhoooon!” pintaku lagi.
“Ada apa Lia?” Tanya ayahku seraya berjalan menghampiriku
melewati kerumunan orang yang semakin bertambah, ia memegang kedua pasang
sepatu Ice Skating di tangan kirinya. Satu pasang untukku dan satu pasang
untuknya.
“Ayah! Aku benar-benar menginginkan beruang kutub itu. Ayah
bisa memenangkannya untukku tidak?Pleaaaassseee!”
Ayahku melirik ke permainan yang di depannya,
tanpa ragu dapat kulihat bahwa ia tidak percaya diri bisa melakukannnya. Ayahku
bukan orang yang pandai dalam permainan, dia bisa main kartu atau monopoli.
Tapi kalau urusan olahraga atau membidik seperti sekarang, dia luar biasa
payah. Mungkin itu genetis di keluargaku.
“umm….aku tak begitu pandai dalam hal seperti ini akung"jawabnya
dengan ragu. “tapi ayah….aku benar-benar menginginkannya. Anggap saja sebagai
hadiah ulang tahun”
“Benar, ayah belum membelimu kado tapi…”
“Kalau mau, aku dapat memenangkannya untukmu!” sela seorang
wanita cantik bermata hijau dengan rambut lurus sebahu berwarna coklat, entah
sejak kapan berdiri di belakang kita. Ia mengenakan kostum boneka salju yang
panjangnya selutut, sepatu putih yang membulat dan dandanan yang sangat tebal.
Matanya dihiasi glitter biru yang mencolok, dan bibirnya pun diwarna biru yang
menyala.
“Maaf, aku tak sengaja mendengar dilema kecil kalian. Kalau
kalian mau aku bisa memenangkan hadiah itu dengan mudah untuk kalian”ujar
wanita yang kira-kira berumur 30 tahun itu. “Mau!” responku dengan cepat.
Sementara ayahku memicingkan mata, “maaf tapi, syaratnya apa ya?” tanyanya
dengan malu-malu.
“Hehe…apakah kau menduga aku segitu jahatnya? Aku tak akan
menipu seorang gadis kecil, apalagi di hari ulang tahunnya.”jawabnya dengan
riang, walau terlihat sedikit terhina.
“Ah! Bukan itu maksudku..ta..tapi”
“Haha! Tenang saja pak. Aku tak tersinggung. Oh dan kau benar,
aku memang ingin ganjaran atas jasa kecilku ini, tapi bukan ganjaran uang atau
semacamnya!” ia mengeluarkan formulir dan pulpen dari kantung kostumnya.
“Kalau
aku memenangkan beruang itu, bisakah bapak mengisi formulir ini? Ini survey
mengenai perusahaan boneka dimana aku kerja, ‘Jack Frost.inc’. Bisa dibilang
perusahaan ini baru dan kita butuh
masukan terhadap produk kita, lihat stand dengan boneka manusia salju yang di
seberang itu, itu stand kita. Seperti yang bapak bisa lihat, bonekanya tidak
terlalu laku dan bos aku berpikir itu karena kualitasnya, jadi dia menyuruh aku
dan beberapa orang melakukan survey kusioner dan yah begitulah…tak begitu
banyak orang ingin mengisinya saat menikmati festival, sementara aku
benar-benar ingin keluar dari kostum ini dan pulang ke anakku yang masih kecil
jadi….”
“Kau ingin aku mengisi kuisionermu agar kau bisa cepat
pulang, aku mengerti. Tapi aku sama sekali tak tahu apapun tentang produk
perusahanmu”
“Itu tak apa-apa, silahkan mengarang saja, tapi tolong
jangan lupa tulis nama, alamat, kode pos dan nomor teleponmu. Jangan alamat
atau nomor palsu ya, nanti bos aku akan
mengira aku yang mengisi sendiri kuisionernya.” Ia mendesah dan mengggerutu,
sepertinya ia benar-benar tidak menyukai pekerjaannya.
“Ok, aku setuju” jawab ayahku sambil mengambil pulpen dan
formulir dari wanitu muda tersebut.
“bagus!” wanita tersebut dengan penuh percaya diri
menghampiri penjaga stand yang bertindik tersebut. Ia menaruh 5 dollar di atas
meja stand tersebut, dan memasukkan dart ke dalam pistol mainan tersebut.
Lelaki yang sepertinya perokok berat itu pun menyalakan kembali rokok yang baru
dan menekan tombol merah di samping
kanannya“siap, mulai!”
Mesin itu pun mulai beraksi lagi. Aliennya bertanda merah x itu pun mulai bergerak kesana-kemari. “perhatikan
aku baik-baik ya, nak” ucap wanita tersebut, sambil mengedipkan mata ke arahku.
Aku pun mengalihkan focus ke arahnya. *DOR* dengan satu tembakan, dart tersebut
mengenai salah satu dari alien yang gesit itu. Aku dan ayah tepuk tangan atas
keahliannya.
“Hebat!”seruku, terpukau. Penjaga stand terlihat sedikit
kesal dengan kemenangan wanita tersebut, tapi meskipun begitu ia tetap
menyerahkan boneka yang aku inginkan padanya, dan kembali menikmati kehangatan
rokoknya.
“Tolong is formulirnya ya!”ucap wanita itu seraya menatap
ayahku yang masih semangat menepuk tangan tanpa henti. “ah, ya!” ia pun mencoba
mengisi formulir tersebut dengan tangan kirinya sebagai alas, sementara wanita
itu dengan senyuman lebar menyerahkan boneka beruang kutub ke pelukanku.
“terimakasih!”ucapku, sambil mengelus bulu halus dari bahan
yang membuat boneka tersebut.
“Sama-sama”, wanita itu mendadak diam. Ia melihat jam
tangannya dengan resah, mungkin tak sabar ingin pulang. Kemudian tiba-tiba ia
bertanya,“Umurmu berapa?”
“Hari ini aku menjadi 10 tahun”
“Benarkah? Wahh...kau sudah besar. Tante jadi penasaran bagaimana
anakku saat seumuran kamu nanti.”Ia mulai mengusap rambutku. Tangannya besar
untuk ukuran seorang perempuan.
“Emang umur anak tante berapa?” tanyaku penasaran.
“ 1 tahun…huh, aku
ibu yang buruk meninggalkannya sendirian di rumah, padaha ia masih semuda itu”
ia mendesah lagi, kali ini dengan nada yang pilu. Air mata berlinangan di
matanya, aku sedikit kaget melihat sifatnya berubah. Ia pasti khawatir dengan
keadaan anaknya.
“Kurasa….anak tante beruntung mempunyai ibu jago menembak
seperti tante”ucapku dengan spontan. Wanita itu mulai tersenyum kembali. “Kau
mencoba menghiburku?...terimakasih”
“apakah ini benar?” ayahku mengembalikan formulir dan pulpen
wanita tersebut. Dengan seksama wanita kurus berambut coklat itu membaca isisan
ayahku.
“Kau tinggal di Oakwood, di ibu kota? Itu cukup jauh dari sini.”komentarnya
setelah melihat seluruh bagian formulir tersebut.
“Ya memang, tapi hari ini ulang tahun anakku. Apapun yang
dia mau akan kuturuti” Ayah memegang bahuku dan menarikku mendekatinya,
badannya terasa hangat.
Wanita itu kembali melihat jam tangan bertali merahnya,
“Kalau begitu aku berterimakasih atas kerja sama anda bapak Charles.
Terimakasih juga ummm..” ia melirik ke arahku menunggu jawaban.
“Carmelia”jawabku singkat.
“Charles dan Carmelia,nama yang serasi sekali!” pujinya
sambil mengambil tisu dari kantongnya dan dengan semangat menghapus sisa make
up di mukanya. “Terimakasih ya kalian berdua. Selamat menikmati festival,
sampai jumpa!” wanita itu berlari begitu cepat.
“Sampai jumpa!” aku dan ayahku membalas dengan serentak
sambil melambai-lambaikan tangan.
“well…ayo ice skating” ajak ayahku sambil
mengambil boneka baruku dan memberiku sepasang sepatu ice skating. Aku segera memakainya dan mulai meluncur. Ayah tak
lama kemudian pun mengikuti, aku mengelilingi danau yang beku itu, entah
beberapa kali. Berbagai orang berlalu lalang, dan bersenang-senang. Hal yang
wajar mengingat jumlah orang yang menghuni Tredony. Tredony bukan negeri yang
besar, hanya sekitar 628 km2 sedikit lebih besar daripada negeri
Andorra, tapi meskipun begitu penduduknya cukup banyak.Tredony dipimpin oleh
seorang Raja. Kekuasaan Raja akan diturunkan lewat garis keturunan, selama 5
tahun ini Tredony dipimpin oleh Raja Albert Dreadry, dia raja yang baik.
Syukurlah, karena kehendak raja itu absolute di negeri ini.
Apapun yang raja inginkan ia dapatkan, ayah sepertinya tidak suka fakta itu. Ia
selalu beranggapan kalau system pemerintahan seperti itu akan memunculkan sifat
dictator, tapi raja kita baik, istrinya sang Ratu Ferilin juga sama. Tak jarang
mereka melakukan kunjungan ke yatim piatu, dan mengayomi orang miskin. Sekolah
12 tahun juga gratis . Secara Keseluruhan aku sangat menyukai tinggal di
Tredony,dan lebih tepatnya lagi Oakwood,
ibu kota Tredony.
Tredony terdiri dari 7 kota, Oakwood merupakan kota terluas
dan termodern diantara mereka semua, penuh dengan gedung-gedung pencakar
langit, perusahaan-perusahaan global dan toko-toko barang bermerk. Ayahku
pegawai di perusahaan perbaikan computer kecil disana, dia mencintai
pekerjaannya tapi badannya yang sudah berumur sayangnya tidak bisa mengikuti
semangatnya.
Ayah tiba-tiba menarikku dan memutarkanku beberapa kali. Aku
jongkok dan meluncur melewati kedua kakinya yang terbuka lebar. “Aduh!”, aku
tak sengaja membuat ayahku tersandung. Mukanya menabrak es yang keras dan
dingin. Hidungnya yang mancung menjadi merah menyala. “Ayah!!maaf, gak
apa-apa?” tanyaku cemas. “Ayah baik-baik saja”
DUARR!! DUARR!! Suara menggelegar dan kilatan cahaya mengagetkanku,
aku melirik keatas dan melihatnya, biru, merah, hijau, kuning, berbagai warna
menari-nari di kain hitam bernama langit malam hari. Warnanya terang nan menyilaukan,
suaranya keras membuat hati berdebar-debar. “Waaaahhh!” aku hanya bisa
mengadahkan kepala ke langit yang begitu indah. Semuanya begitu menakjubkan,
pandanganku tak bisa teralihkan darinya. Ledakan warna yang sambung menyambung,
rasa hangat yang menggelitik tubuh, semuanya terasa begitu ajaib!!
“Happy Birthday!” bisik ayahku. Ia menutup mulutku yang
tanpa sadar kubiarkan menganga entah seberapa lama. Ia masih duduk manis di es
yang dinginnya menusuk itu. Ia tersenyum, senyuman lebar yang menampilkan
giginya yang putih dan membuat keriput di sisi bibirnya berlipat ganda. Dengan
tangannya yang besar, ia menarikku ke pelukannya. Aku pun duduk di pangkuannya,
tangannya membalutku bagaikan selimut wool yang tebal. Aku membalas senyumannya
dengan senyuman yang tak kalah lebar. “Aku sayang ayah”bisikku lembut. “Aku
sayang kamu juga”
Aku senang. Sangat senang!
Aku ingin hari ini tak berakhir!
…..
…..
…..
…setidaknya awalnya aku berpikir seperti itu.
“DOR!!DORR!!”
Suara menggelegar dan kilatan cahaya kembali mengagetkanku. Itulah
sambutan yang kudapatkan setelah melewati daun pintu rumahku yang hanya terdiri
dari 1 lantai dan 5 ruangan itu. Sambutan yang suaranya hampir sama persis
dengan suara kembang api. Tarian kembang api yang indah, menawan, memukau…sebuah
tarian yang tak terlupakan. Namun ini bukan kembang api, bukan tarian ledakan
cahaya berwarna yang indah, bukan api hangat yang menenangkan jiwa, bukan
kenangan indah yang ingin kukenang seumur hidup sampai mati nanti. Ini…ini adalah mimpi buruk!!
Wanita cantik yang 5 jam yang lalu kuanggap bagai dewi
penyelamat, sekarang bagaikan malaikat pencabut nyawa, entah kapan ia menyusupi
rumah kita, entah berapa lama ia menanti kedatangan kita.Yang pasti, saat kita
membuka pintu, ia tak menyiakan waktu untuk bertindak.
Warna merah kembali
memukauku, tapi ini bukan lagi merah menyala dari petasan-petasan indah yang
menghiasi langit malam. Melainkan warna merah yang menodai warna abu dari baju lelaki
yang dengan bangga kupanggil “ayah”.
“Ayah!Ayah!!”aku menjerit, badannya yang biasanya begitu
kuat dan kokoh sekarang tergeletak lemas di lantai kayu yang dingin. “lari
Carmelia!”
“Tak usah repot-repot!”sela wanita yang tak lama yang lalu
memakai lipstick dan glitter biru. Sekarang wajahnya bersih dari segala alat
pewarna, matanya yang tak lama yang lalu begitu bercahaya dan penuh hidup,
sekarang hitam kosong bagai lubang tak berdasar. Ia menggigit bibirnya
kuat-kuat saat gigitannya dilepas, bibirnya akan bergemetar hampir sekencang
getaran tangan kanannya yang memegang pistol warna hitam sehitam malam tak
berbintang dan berbulan itu.
“lari, dan akan kubunuh ayahmu mengerti!?” –DOR!! Kali ini
pelurunya menembus lutut kanan ayahku, jeritan rasa sakitnya tercampur aduk
dengan teriakan rasa takutku. “Hentikan!!Hentikann!!” jeritku berulang-ulang,
terus melekat pada kain abu yang melekat pada badan ayahku itu. Aku tak akan
lari, aku terlalu takut. Takut dengan apa yang akan wanita itu lakukan pada
satu-satunya orang yang kuanggap sebagai keluarga itu.
“Kenapa, kau melakukan ini?” gumam ayahku, disela-sela
rintihan sakitnya. Wanita itu diam sejenak, mulut pistol tetap menatap lurus dahi
ayahku. “Karena aku tak punya pilihan yang lain”
Ia berjalan cepat ke sisi ayahku. Tangannya menggenggam
pergelangan tangan kiriku, namun aku hanya terus terisak-isak menguburkan
kepala pada dada ayah yang mulai basah tercemar darah yang tak berhenti
mengalir. Wanita itu menaruh kain di atas perut ayahku, tepat di atas luka
tembakan. Ia membisikkan sesuatu pada telinga ayahku. Suaranya pelan dan
bergemetar, namun aku dapat mendengar jelas semua perkataannya.
“Jangan mati! Jangan mati!!”berkali-kali ia menekankan kata tersebut.
“ Jika kau ingin bertemu dengan anakmu lagi, jangan mati. Mati
dan semuanya gagal mengerti?” air mata mulai menggenang di pinggir matanya.
“Di dalam kain ini ada kertas, ikuti semua perintahnya dan
anakmu selamat. Melapor pada polisi dan anakmu mati.” Ia berdiri, tak lagi
berjongkok di samping ayahku. Tangannya yang terbalut kaus tangan kulit itu
mencengkram pergelangan tanganku dengan begitu kuat. Ia melingkarkan kedua
lengannya di pinggangku, menarikku dari sisi ayahku yang terluka dan berdarah
itu. “AYAAHH!!AYAAHH!!” aku hanya bisa berteriak berharap semua ini hanya mimpi
buruk. “CARMELIIAAAA!!!” aku melihat ayahku merangkak, mengerahkan tenanganya
untuk menarik tubuhnya yang lepas itu keluar ruangan menuju salju. Namun
bagaimanapun juga ia tak bisa mengejar.
“Maafkan aku” ucap wanita tersebut sebelum sebuah kain basah
dan lembab menutupi mulut dan hidungku, baunya aneh…memabukkan… Air mata wanita
bercucuran, membasahi wajahku. Ya, air matanya begitu deras, bagai hujan yang
tak kunjung berhenti, bersatu dengan air mataku yang juga tak mau berhenti.
Pandanganku memburam….memburam….memburam………lalu semua gelap….gelap gulita.
…bersambung